Mengarifi Politik Kiai

Posted by Abd. Warits Ilham  |  at  09.35

Oleh : Abd. Warits

Kiprah kiai sebagai politisi masih saja menuai kontroversi. Padahal, berpolitik, apa pun bentuknya adalah hak semua orang. Lalu kenapa harus ada yang melarang kiai berpolitik, apakah karena kiai ditokohkan dalam kehidupan masyarakat lalu kiai tidak boleh berpolitik? Justru karena kiai merupakan sosok yang diidolakan masyarakat, tentu akan lebih mampu memberikan efek positif dalam pemerintahan.
Kalau dalam perjalanan politik kiai ditemukan kejanggalan, melenceng dari semangat awal kiprah politiknya, tentu tugas kita adalah menegurnya, mengingatkan bahwa semangat politik yang dijalaninya telah mengalami perubahan haluan. bukan serta merta melarangnya berpolitik, karena tindakan ini (melarang kiai berpolitik), termasuk salah satu pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Bila berpolitik memang khusus untuk kalangan tertentu, maka orang yang mesti dilarang berpolitik pertama kali adalah pengusaha. Karena apabila mereka yang berpolitik tentu akan menjadikan kegiatan politik sebagai komoditas yang diperdagangkan. Jika kondisi ini yang berkembang, maka yang terjadi adalah money politic. Seperti yang terjadi menjelang pemilu legislatif 2009, praktik politik uang semakin marak ditemukan di tengah masyarakat. Padahal, jumlah politisi yang berlatarbelakang pengusaha masih relatif sedikit. Namun, setiap tahunnya menunjukkan peningkatan. Dapat dipastikan, mereka akan menjadikan basis politik sebagai salah satu komoditas perdagangan yang menjanjikan keuntungan besar. Cukup dengan modal ratusan juta rupiah bisa untung triliunan rupiah.
Selain itu kalangan artis juga perlu dihimbau agar tidak terjun ke dunia politik, sebab menjadi aparatur pemerintah tidak cukup hanya dengan modal ketenaran nama yang dimiliki. Tapi, sampai saat ini belum ada yang lantang menyuarakan pengusaha mapun artis dilarang berpolitik. Padahal, efek negatif yang akan terjadi jauh lebih besar dari pada kiai.
Diakui atau tidak, peran politik praktis kiai memang mengalami pergeseran. Peran kiai di parlemen sudah tercoreng oleh beberapa oknum kiai yang korup. Semestinya kondisi ini menjadi bahan renungan semua pihak. Apa sebenarnya yang salah dengan sistem pemerintahan kita? Sehingga membuat tokoh sebaik kiai yang duduk di parlemen juga tergiur ikut-ikutan korupsi.
Namun kondisi ini, bukan serta merta mesti disikapi dengan reaksi negatif (melarang, menentang) atas peran politiknya. Alangkah lebih baik, bila kita mengingatkan (kritik membangun) pada kiai yang berpolitik bahwa apa yang mereka lakukan telah menyimpang dari spirit awal politiknya yang bertujuan menyejahterakan masyarakat.
Pada dasarnya, politik bukan satu hal yang kotor maupun kejam. Hanya saja orang-orang yang aktif berpolitiklah yang cendrung main kotor, dan hanya berorentasi meraih kekuasaan. Akibatnya, dalam praktiknya merasa perlu menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan memperebutkan kekuasaan.
Memang benar apa yang ditulis Syaiful Amin (Kompas, 09 April 2009), bawha kondisi politik saat ini dinilai kotor oleh banyak pihak. Namun sekali lagi, hal itu bukan berarti politik itu sendiri yang bersifat kotor. Justru karena kondisi inilah, kiai yang selama ini dikenal sebagai “sosok suci” dalam kehidupan masyarakat, merasa terpanggil untuk terlibat di kancah perpolitikan indonesia.
Tidak bisa dipungkiri peran aktif kiai di parlemen telah banyak memberikan dampak positif pada perkembagan Indonesia. Contoh kongkritnya adalah terwujudnya pendidikan murah dan pemberdayaan pendidikan kelas bawah yang berbasis di pesantren. Peran pendidikan pesantren mulai diperhatikan ketika kiai mulai berperan aktif di pemerintahan. Sebelum itu sama sekali dilupakan. Bahkan peran pendidikan pesantren mulai diragukan. Parahnya lagi pesantren dituduh sebagai basis teroris.
Selain itu, perhatian untuk memberdayakan kondisi masyarakat bawah mengalami peningkatan. Eksistensi mereka (masyarakaat bawah) tidak lagi dianggap sebagai beban negara atau pun wabah penyakit yang mesti dibasmi dan dibersihkan. Program dan anggaran pemberdayaan menjadi satu hal yang diprioritaskan dalam proses pembangunan. Ini bisa dilihat pada banyaknya program-program gratis pelayanan masyarakat kalangan bawah, mulai dari biaya pengobatan kesehatan gratis, beras untu rakyat miskin (raskin), dan lain sebagainya.
Kita akui memang, peran politik kiai masih menyisakan banyak masalah. Banyak hal yang terjadi justru menyimpang dari harapan masyarakat yang sebelumnya menjadi spirit awal karir politiknya. Hal ini memicu melorotnya tingkat kepercayaan masyarakat pada dawuh (fatwa) kiai. Akibatnya, kehidupan masyarakat menjadi liar dan tak terkendali. Sebab, mereka sudah kehilangan sosok panutan yang selama ini menjadi figur dalam setiap aktifitasnya.
Untuk itu perlu dipertegas, bahwa tidak semua kiai boleh atau dilarang berpolitik. Perlu diadakan pembagian tugas yang jelas antar kalangan kiai (internal kiai), agar nuansa politik yang dijalaninya tidak tampak berorentasi kekuasaan untuk menikmati gaji besar semata. Tapi lebih pada upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat seperti yang telah dilakukan oleh para kiai zaman dulu. Mereka (kiai zaman dulu) berpolitik ketika tidak menemukan lagi sosok yang pas untuk mengemban amanat rakyat mengatur pemerintah. Namun biarpun demikian, mereka tidak lupa menjalankan tugas utamanya: sebagia pendidik, jusrtu mereka mengajarkan bagaimana praktik politik yang sesuai dengan tuntunan agama dan berorentasi pada kesejahteraan masyarakat.
Maka dari itu, tidak perlu lagi ada pelarangan kiai berpolitik. Siapapun berhak berpolitik, selama dia memiliki kapasitas dan komitmen untuk mewujudkan kemaslahatan untuk negeri ini.

0 komentar:

Pengikut

Copyright © 2013 Pengintai Senja. WP Theme-junkie converted by BloggerTheme9
Blogger template. Proudly Powered by Blogger.
back to top