Menginap di negeri laskar Pelangi

Posted by Abd. Warits Ilham  |  at  12.32

foto diambil di sini

Perjalanan yang sangat melelahkan, tapi semangat untuk mengahadiri forum ilmiah ACIS II yang kali ini diselenggarakan di bangka belitung menjadi sepirit yang tak akan pernah padam. perjalanan dari surabaya-jakarta, jakarta-pangkal pinang yang ditempuh selama 4 jam; meski hanya tinggal duduk dipesawat namun cukup melelahkan. apalagi keadaanku saat tidak begitu fit, sehingga mesti bolak-balik toelit untuk menyegarkan muka yang mungkin mulai tampak kusam.
catatan perjalanan ini akan aku rangkai menjadi beberapa cerita yang mungkin bisa kita diskusikan lebih lanjut.
poin pertama yang aku dapatkan di tempat ini, pembangunan daerah yang begitu cepat di daerah belitung. padahal provensi ini masih tergolong muda, namun infrastruktur dan panorama alamnya sangat tertata.
kedua,...
ditunggu aja kelanjutannya-;)

0 komentar:

Perempuan Madura dalam Belenggu Tradisi Patriarkhi

Posted by Abd. Warits Ilham  |  at  10.32

Oleh: Abd. Warits

”Perempuan tidak diciptakan dari tulang” kepala” untuk dijunjung, bukan pula dari bagian tulang “kaki” untuk diinjak dan dikuasasi. Melainkan dari tulang “rusuk” bagian kiri laki-laki; tulang rawan (lembut) yang berada disamping tubuhnya, untuk dikasihi, disayangi, dan dilindungi”
Akhmad khatib, Ruang Karantina Menulis STIKA, 20 februari 2009

Perempuan adalah kelompok manusia yang senantiasa tertindas disepanjang sejarahnya. Mereka menjadi korban keegoisan laki-laki, dan selamanya menjadi golongan kedua, terpinggirkan, termarjinalkan bahkan tersingkir dari pola hidup yang sejahtera.(1) Coba saja kita lihat pada beberapa keluarga disekitar kita, bila ada dua orang anak, laki-laki dan perempuan, kira-kira siapa diantara keduanya yang mendapatkan kesempatan lebih luas melanjutkan sekolah? Tentu, kesempatan itu terbuka lebar untuk anak laki-laki.
Anak laki-laki bisa terus mengenyam pendidikan setingi-tingginya, leluasa mengukir impian, mendesain perjalanan hidupnya. Mereka bebas melakukan segalanya, tanpa dibayang-bayangi fatwa kiai maupun agama yang membatasi ruang aktualisasinya. Sedangkan perempuan, jangankan mengenyam pendidikan hingga Magister (Strata 2), Doktor (Strata 3), apalagi Profesor (Guru Besar), bermimpi tentang hal itu saja sudah terlarang. Mereka dibatasi dalam banyak hal, ribuan fatwa telah siap mengerangking perjalanan hidupnya.(2)
Akibat dari rendahnya tingkat pendidikan tersebut itulah, perempuan seringkali tidak menyadari hak dan kewajiban dirinya dalam kehidupan berumah tangga; walau sebenarnya pada sisi lain, harus diakui bahwa perempuan memang selalu ”dituntut” pasrah dan menerima segala aturan yang dibebankan bagi dirinya. Terbukti, ada banyak dalil agama yang dijadikan dasar utnuk “membelenggu” kehidupan perempuan.(3)

Benang Kusut Kehidupan Perempuan Madura
Kehidupan perempuan Madura; dan juga perempuan secara umum, seringkali diasusmsikan sebagai kaum lemah, berpikiran sempit, dan tidak kreatif. Memang, hal ini belum seberapa bila dibandingkan dengan status perempuan Arab dimasa jahiliyah. Pada masa itu, perempuan di-cap sebagai orang yang kurang akal dan agamanya, sumber penyakit, sumber fitnah, sarang jin, bahkan najis. Karenanya, perempuan tidak dianggap sebagai bagian dari jenis manusia, dan boleh di perjual-belikan.(4)
Oleh karenanya, banyak orang meyakini bahwa pekerjaan yang pantas bagi perempuan hanya berputar pada tiga tempat: Dapur, Sumur, dan Kasur.(5) Tidak pada wilayah publik (politik, sosial, ekonomi dan pendidikan). Bahwa dalam daerah tertentu, ada sebagaian dari seorang perempuan yang memiliki profesi gemilang: Bupati, Direktur, dll., hal itu diyakininya sebagai “keajaiban-keanehan” yang tidak pantas ditiru, harus dihindari. Bahkan terkadang, justru dianggap suatu hal yang melanggar etika kehidupan perempuan.
Sederhananya, keberadaan makhluk yang berjenis perempuan, sama sekali tidak pantas dibanggakan. Maka dari itu, kehadirannya adalah beban bagi kaum laki-laki (suami). Tersebabnya, kekerasan terhadap perempuan dalam lingkup rumah tangga seringkali terjadi di negeri kita.(6)
Ironisnya, klaim tentang ”kekerdilan” sosok perempuan itu bukan sekedar asumsi maupun warisan tradisi patriarkhi semata. Namun justru, fatwa kiai-lah; sebagai pemegang dan penentu otoritas hukum agama Islam di Madura,(7) yang menyebabkan kehidupan perempuan tersudut dan termarjinalkan. Adanya beberapa fatwa kiai yang merujuk pada dalil-dalil agama telah membuat tradisi patriarkhi di Madura tumbuh subur.
Penulis tidak mau mengatakan mereka (kiai) sempit dalam menganalisa masalah dan dalil-dalil agama sehingga tanpa sadar telah menyudutkan kaum perempuan, namun sangat terasa begitulah yang terjadi dilapangan. Ketika perempuan hendak ”berakselerisi” ribuan fatwa ”haram” langsung serentak membelenggu mereka. Akibat dari itulah, kita jarang menemukan perempuan Madura yang eksis berkarir seperti halnya laki-laki.
Terbukti, di Madura sangat jarang ada pemimpin perempuan; kecuali dalam organisasi yang hanya beranggotakan perempuan. Sebab, perempuan yang menjadi pemimpin (membawahi laki-laki) dihukumi haram dan melangkahi ajaran Nabi Muhammad.

Kemandirian yang Terlupakan
Tidak banyak yang menyadari ”keunggulan” perempuan di Madura. Atau jangan-jangan, bukan tidak disadari, namun sengaja beberapa ”kelebihan” tersebut ”dikubur” dan dianggap satu hal yang biasa; bukan istimewa, oleh golongan tertentu.
Bila mau jujur, beberapa tuduhan negatif yang ditujukan bagi kaum perempuan bukan hanya tidak berasalan, namun juga tidak benar. Lihat saja, bila memang benar perempuan lemah secara intlektual maupun fisik, lalu bagaimana mereka bisa menyelesaikan dan mengatur seluruh tugas rumah tangga selama 24 jam penuh sendirian? Mereka bangun sepagi mungkin untuk menyiapkan sarapan, dan baru bisa tidur menjelang tengah malam setelah selesai merapikan semua perabotan tumah tangga. Itupun bila tidak mempunyai anak kecil. Bila ia, mereka harus juga bangun tengah malam untuk menghibur anaknya yang terbangun karena popoknya basah. Mereka bekerja nyaris tanpa istirahat. Bandingkan dengan tugas laki-laki yang hanya bekerja disiang hari.(8) Bila demikian, bagamaina dasar legitimasi bahwa perempuan kaum lemah.
Mereka juga adalah tenaga didik luar biasa, berbekal pengalaman hidup dirinya dalam menyelesaikan persoalan yang menimpanya, mereka mengajarkan ”kearifan”, menanamkan kreativitas, melatih kemandirian dan keteguhan sebagai bekal bagi anak-anaknya. Merekalah guru yang sebenarnya, pembimbing, pelatih tanpa dibatasi ruang maupun waktu. Dan terbukti, beberapa orang sukses berkat didikan ”briliyan” dari ibunya.(9)
Kondisi berbeda, dapat kita temui pada kehidupan para perempuan di daerah pesisir, mereka begitu tangguh dalam mengelola pemasaran ikan. Keahlian tawar-menawar dalam melakukan transaksi jual-beli tidak bisa ditiru/di kalahkan oleh laki-laki. Disamping itu, hampir diseluruh pasar tradisional yang ada di Madura, perempuan adalah pelaku dan pengelolanya. Merekalah pelaku ekonomi yang pantas diteladani.
Sementara pada sektor pertanian, di setiap musim tanam kita akan sangat mudah menemukan mereka bertebaran di sawah, tidak jarang yang memegang cangkul sendiri, mengolah tanah untuk ditanami. Mereka berbaur dengan laki-laki, bersama-sama mencari nafkah untuk menghidupi keluarga.
Beberapa hal tersebut diatas, hanyalah sekedar contoh kecil saja. Dan masih banyak kelebihan lainnya dari kepribadian seorang perempuan. Namun sayangnya, semua itu terlupakan, tertutupi dengan beberapa kekurangan yang seringkali di paparkan secara berlebihan. Bahkan, seringkali dianggap sesuatu yang tidak pantas ditiru. Para perempuan tidak mampu melawan, sebab sedari kecil mereka telah di ajari untuk menerima, sabar, pendiam dan pemalu.
Lalu, bila potensi perempuan sedemikian besarnaya, dan mereka juga memiliki kesamaan-kesetaraan dengan laki-laki, siapakah yang telah ”tega” membuat kehidupan mereka menjadi tidak berarti? Siapakah yang menjadikan mereka sebagai golongan kedua? Dan sampai kapan mereka akan terus-menerus menjadi golongan yang termarjinalkan? Akankah generasi penerus masa depan mampu mengembalikan posisi mereka pada tingaktan sebenarnya?
Pertanyaan yang tidak sekedar butuh jawaban, melainkan perjuangan yang sangat panjang dan berliku. Entah siapa yang mampu menjawan dan menyelesaikannya? Yang jelas, semua itu kembali pada generasi pemuda hari ini. Keputusan ada ditangan mereka, apakah akan melanjtukan tradisi patriarkhi atau merubahnya dengan tradisi yang lebih terhormat dan bermanfaat?

____
NOTE
1. Telaah lebih jauh pada Alimin Mesra, M.Ag., Peran Perempuan dalam Keluarga, dalam Zubaer Ahmad, M.Ag.,(ed), Membangun Kultur Ramah Perempuan, Restu Ilahi, Jakarta, hal. 197.
2. Hasil diskusi dengan Eka Yulistiani (Ketua V: Bidang Keperempuanan PKC PMII Jawa Timur) di kantor PC PMII Sumenep, tanggal 20 maret 2010. Bandingkan dengan Abu Hasan Ali al-Hasany, Kerugian Umat Dunia Karrena Kemunduran Umat Islam, (Surabaya, Bina Ilmu, 1984) hal 50
3. Lihat QS. Annisa’: 34 (Tentang Kepemimpinan Antara Laki-Laki dan Perempuan), dan QS. Al-Baqarah: 222 (larangan mendekati [berhubungan] dengan wanita yang sedang haidl) dan pada ayat 282 (Tentang Status Kesaksian wanita). Beberapa dalil itu kemudian dijadikan dasar hukum oleh beberapa orang untuk mendiskriminasi perempuan. Memang pada saat ini, beberapa mufassir modern berupaya memahami subtansi dari kalimat tersebut, dan memberikan tafsirah yang lebih “humanis” sebab mereka menyadari islam datang dengan membawa semangat kesetaraan dan keadilan.
4. Haya Binti Mubarok al-Bandi, Enseklopedi Wanita, terj. Amir Hamzah Fahruddin (Jakarta, Darul Falah, 1421 H), hal. 5-8
5. Diambil dari Pidato Da’i kondang, KH. Zainuddin Mz, yang berjudul Mewujudkan Keluarga Sakinah. Disamping itu, fenomena kehidupan seorang istri yang berputar disekitar dapur, sumur, dan kasur memang sudah menjadi tradisi, khususnya didaerah pedesaan madura. Bagi mereka yang terlahir sebagai perempuan dituntut untuk tidak memiliki mimpi-mimpi “besar” semisal sekolah sampai perguruan tinggi, apalagi membayangkan berkarir diwilayah publik. Hanya sebagian kecil dari mereka (para perempuan) yang bisa mengenyam pendidikan tinggi, itupun karena mereka lahir dilingkungan keluarga terdidik.
6. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan jenis kasus terbesar dalam pendiskriminasian kaum perempuan. Setiap tahunya, korban KDRT mengalami peningkatan, tahun 2007 terdapat 747 kasus, 853 kasus pada tahun 2008, dan 1.058 kasus terjadi sepanjang tahun 2009. Lihat Harian Kompas, edisi 05 dan 08 maret 2010, bandingkan juga pada edisi 11 Desember 2009.
7. Tentang seberapa besar pengaruh fatwa kiai ini, dapat ditelaah secara mendalam pada Muthmainnah, Jembatan Suramadu: Respon Ulama Terhadap Suramadu, LKPSM, Jogjakarta, 1998, hal. 42
8. Tuntaskah pada kisah yang dituturkan Pipiet Senja, Mencoba Untuk Bertahan, dalam Arief Anggoro (ed), Membasuh Kalbu, Gema Insani, Jakarta, hal. 07. Buku ini mengupas tentang keteguhan seorang “ibu” dalam menekuni aktivitas kesehariannya dilingkungan rumah tangga. Dalam hal ini, piepit bertutur, bahwa dalam keadaan sakit yang dialaminya, dia tetap berupaya melakukan tugas memasak, mencuci, dan menemani anak-anak belajar dalam kesehariannya. Dia juga mengungkapkan betapa sibuknya menjadi ibu rumah tangga. Tapi sebagai seorang istri, dialah yang harus menyelesaikan semua tugasnya secara sistematis dan praktis. Bandingkan pulan dengan penuturan Jazimah al-Muhyi, Perempuan-Perempaun Tegar Itu dalam dalam buku yang sama, hal. 29-37
9. Achmad Khatib, Dibalik Kacamata Ibuku dalam buku Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis, Tsanin A. Zubairi, S.HI., M.Si., (ed), Muara Progresif, Surabaya, hal. 145. Khatib (sapaan akrabnya) adalah penulis muda yang telah 2x menjuarai LKTI Nasional: Pada November 2006, peraih juara III LKTI Mahasiswa se-Indonesia pada Annual Converence on Islamic Studies (ACIS) Depag RI di Bandung, dan November 2007 meraih juara II pada even yang sama di UIN Suska Pekambaru Riau. Dalam buku ini, Khatib menceritakan cara-cara ibunya memberi semangat bagi dirinya untuk berjuang, sehingga dia bisa meraih impian terbesar dalam hidupnya.

0 komentar:

Pengikut

Copyright © 2013 Pengintai Senja. WP Theme-junkie converted by BloggerTheme9
Blogger template. Proudly Powered by Blogger.
back to top