Menimba Ilmu dari As Laksana 2

Posted by Abd. Warits Ilham  |  at  11.22

Foto diambil di sini
Belajar “Memesrai” Buku:
Catatan kedua; Sesaat bersama As Laksana

Acara seminar bertemakan “buku sebagai jantung peradaban” ini di pimpin oleh ra Muhammad Mushthafa selaku moderator, saya tambah antusias mengikutinya. Saya pun segera mencari tempat duduk yang mulai sesak, kata panitia, mereka menyipkan 300 kursi bagi putera dan puteri khusus untuk acara ini. Dan ternyata, mereka agak kewalahan sehingga banyak peserta terpaksa berdiri, beruntunglah saya mendapatkan tempat duduk.

Setelah moderator memberikan sedikit pengantar mengenai topik yang akan diperbincangkan, dan membaca profile pemateri tibalah kini mas As Laksana berbicara. Beliau mengawali ulasannya dengan sedikit bercerita mengenai persiapan yang dilakukannya semalam untuk materi diskusi ini. Kalau saya tidak salah mengingat, mas As Laksana menyiapkan materi dalam waktu satu jam sambil lalu menunggu waktu keberangkatan pesawat dari jakarta ke surabaya.

Mas As Laksana memperkirakan hanya memiliki waktu se jam di forum ini, maka ia hanya menyiapkan 6 poin pokok bahasan yang diberinya judul “Enam Pertanyaan Tentang Buku”. Dari pengantar awalnya, mas As Laksana senantiasa menekankan pentingnya berbicara atau menulis dengan cepat dan padat. Sebab, dengan menulis cepat, kita akan banyak waktu untuk menulis lagi, dan membaca lebih banyak buku.

Selanjutnya, mas As Laksana tidak banyak beretorika, beliau lebih memilih membaca catatan yang telah disiapkannya sejak dirumah. Pertanyaan pertama, apa yang diberikan buku? Pertanyaan sederhana tapi seringkali luput dari perhatian penikmat buku. Itulah sebabnya, banyak orang yang merasa bosa untuk membaca buku, karena mereka tidak menyadari bahwa ada banyak hal yang diberikan buku pada kita.

Dalam hal ini, mas As Laksana menceritakan beberapa hal yang akan diberikan buku bagi manusia, salah satunya adalah buku akan selalu memberikan pengalaman baru. Bahkan “pengalaman” di masa lalu yang tak mungkin terulang, akan dapat kita rasakan melalui buku. Mungkin ini pulalah salah satu alasan, mengapa buku dapat menjadi guru yang paling utama, ia dapat mengajarkan kita tanpa perlu mengalaminya terlebih dahulu.

Selanjutnya mas As Laksana bercerita pengalamannya di masa kanak-kanak dulu, ketika dipilih untuk mewakili sekolahnya dalam lomba cerdas cermat, ia dipilih karena dianggap memiliki “kekayaan” dalam berbicara. Meski saat itu mas As Laksana tidak juga mengerti maksud dari kalimat “kaya bahasa” yang dimaksudkan gurunya tersebut.

Memang, selalin memberikan pengalaman, buku membuat kita selalu menemukan kosa kata baru. Dan sebagai seorang manusia, baik ia bermiant menjadi seorang penulis atau tidak, pasti akan bersinggungan dengan kosa kata dalam kesahariannya. Sebab, kita tidak mungkin menyampaikan isi pikiran kita melalui isyarat, akan sulit orang memahaminya. Karena itu, kata-kata lah yang paling pas untuk digunakan sebagai alat komunikasi.

Rangkaian kalimat indah, dan memikat, serta mampu menyampaikan maksud gagasan kita pada orang lain dengan sempurna, hanya akan bisa dilakukan ketika kaya kosa kata. Sehingga ide yang awalnya biasa saja, akan tampak sangat menarik, bila disampaikan dengan kalimat “yang tidak biasa” digunakan orang lain. Dengan begitu, ide atau gagasan yang kita sampaikan tentu akan mudah dipahami bahkan diikuti banyak orang.

Masa kanak-kanak mas As Lakana dihabiskan banyak “bergaul” dengan buku, dari pada bermain dengan teman seusianya. Dia telah banyak membaca berbagai macam novel dengan tema beragam, bahkan beberapa buku sastra yang tidak mudah diapahami. Tapi As Laksana muda tidak peduli, dia hanya membaca dan terus membaca. Proses itulah yang kemudian bisa membuatnya menjadi penulis handal masa kini, dia telah melahap banyak kosa kata sejak usia muda. Mungkin bisa dikatakan, kosa kata yang ia lahap telah melampuai usianya.

Sementara itu, bagi seorang yang berminat belajar menulis, kekayaan kosa kata merupakan modal paling utama. Kemandegkan dan kebingungan dalam menulis karena dia kehabisan kata-kata untuk menuangkan isi pikirannya. Karena itu, menjadi wajib hukumnya melahap banyak buku sebelum dia memulia aktivitas menulisnya. Melalui buku itu pulalah, kita bukan hanya mengenal kosa kata baru, melaikan juga akan mengenal susunan kalimat bagus, padat gagasan, dan menarik untuk dibaca.

Pangong-ngangan Madura 22 April 2013
Mator Pangestoh

0 komentar:

Menimba Ilmu dari As Laksana

Posted by Abd. Warits Ilham  |  at  13.32

Awal “Perkenalan” dengan As Laksana
Catatan Pertama; Sesaat Bersama As Laksana

Saya memang tidak banyak mengenal tentangnya, saya pun tidak begitu riwayat hidupnya, dari mana asalanya, sekolqqah dimana, dan bagaimana memuliai karir kepenulisannya. Awalnya, saya mendengar namanya dari perbincangan beberapa teman-teman  saya di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) saat masa akhir-akhir perkuliahan di Instika,  sejak saat itu saya mulai sedikit-sedikit memburu karyanya, baik yang berupa artikel, esai atau cerpen di media massa.

Saya begitu suka dengan gaya bertuturnya, simpel tapi menarik; maaf bukan bermaksud menyimpulkan gaya kepenulisanya, tapi setidaknya itulah yang saya tangkap ketika membaca karya-karya As Laksana. Dari itu, ada rasa ingin mengenalnya lebih jauh tentang riwayat kepenulisannya, sebab saya berkeyakinan bahwa tidak ada seorang penulis yang lahir instan, semuanya pasti melewati perjuangan panjang, dan tantangan yang begitu berat.

Ketika saya memiliki akun twitter, saya mencoba mengikuti akun As Laksana, sebab di Facebook mas AS Laksana sudah memiliki temang maksimal, hingga tidak memungkinkan ada tambahan teman baru, begitu peringatan dari Facebook setiap kali saya mencoba meminta pertemanan. Karena itulah, saya lebih memilih mengikuti ide-idenya di twitter, sebab lebih memungkinkan untuk juga ikut berkomentar, meski seringkali ketika saya akan komen ada rasa “segan” yang tak saya pahami kenapa, tiba-tiba saja ada rasa takut kalimat saya salah dari segi penyusunan kalimat efektif. Saya pun seringkali menghapus kalimat itu.

Karena itu, ketika saya mengetahui panitia Festival Cinta Buku (FCB) BEM Instika tahun ini berencana menghadirkan AS Laksana saya senang sekali, rupanya akan ada jalan untuk sedikit menghapus rasa penasaran saya akan sosok yang selama ini hanya saya ikuti tulisannya di media, saya berharap dapat mengobrol banyak tentang apa saja, meski saya juga tidak tahu seberapa lama beliau akan tinggal di annuqayah.

16 April 2013, adalah jadwal kedatangan mas As Laksana ke Annuqqayah, sengaja saya berangkat dari rumah lebih pagi agar beberapa pekerjaan di LP3M yang dari kemaren terbengkalai bisa diselesaikan lebih awal, dengan begitu saya akan mendapatkan waktu yang cukup untuk mengikuti sajian materinya nanti. Tapi rupanya, setibanya di Instika saya baru tahu bahwa pelaksananya masih jam 13.30, bahkan kemungkinan bisa saja baru dimulai ketika jam 14.30 Wib, sebagaimana kebiasaan lama di Guluk-Guluk, selalu ada “dispensasi” waktu tak terbatas dalam sebuah acara. Karenanya, ketika jadwal diagendakan jam 13.00 maka dapat dipastikan satu jam setengah kemudian, acara baru akan dimulai.

Setibanya di Aula Asy-syarqawi Instika, saya langsung menfokuskan pandangan ke deretan bangku bagian depan, ingin memastikan apakah sosok As Laksana sudah duduk disana, ternyata belum ada. Mungkin masih di jalan, begitu pikir saya. Saya pun mengalihkan pandangan ke beberapa stand bazar yang menawarkan beberapa buku. Kalau tidak salah hitung, ada sedikitnya enam stand yang memenehui ruangan Aula ini. Saya mencoba bertanya, penerbit buku apa saja yang mencoba mencari peruntungan di acara tahunan BEM Instika kali ini, sayangnya teman bicara saya tidak tahu juga, dia hanya menyebutkan LkiS dan Diva Press.

Baru beberapa menit saya berkeliling, tiba pengeras suara berdengung, rupanya mas As Laksana sudah tiba dan acara siap dimulai. Saya menyesali diri, kenapa tadi tidak bersabar diri menunggunya di depan pintu sehingga saya bisa menyalaminya. Saya sudah kehilangan moment paling berharga itu, padahal tadi sudah berencana akan juga memotretnya dari dekat. Ya apa daya, mungkin takdir sedang tidak mengijinkan saya bersalaman dengannya hari itu, semoga lain waktu saya mendapat kesempatan bukan hanya bersalaman tapi juga bisa duduk satu meja menjadi dalam sebuah diskusi, semoga. Amieen ya rabbal alamin
***
Bersambung ....
Pangong-ngangan, 21 April 2013

0 komentar:

Menuju Perubahan

Posted by Abd. Warits Ilham  |  at  15.05

Sumber foto di sini

Saya baru saja membeli empat seri buku Adonis yang berjudul Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam jilid I-IV. Saya membelinya di FCB V yang dilaksanakan BEM Instika sejak beberapa hari yang lalu dan kabarnya akan berakhir tanggal 23 April 2013.
Buku Adonis ini, mengalahkah niat saya untuk membeli beberapa buku lain yang selama ini memang saya cari. Entah karena apa, ketika saya melihat buku ini, tiba-tiba ada niatan kuat untuk membelinya. Saya memang tidak begitu kenal dengan Adonis, berbeda dengan Nasr Hamid, Arkoun atau Abit Aljabiri yang pemikirannya sempat kami diskusikan di bangku kuliah dulu. Tapi saat melihat judul buku ini, tiba-tiba ada dorongan kuat dari dalam diri saya untuk mendapatkan buku ini secara lengkap, apa lagi melihat stoknya yang hanya tinggal 2 eks untuk masing-masing jilid saya pun memutuskan untuk segera membelinya, meski keadaan “kantong” sedang kempes.
Sesampainya di rumah tak sabar saya langsung membacanya. Seperti kebiasaan saya selama ini saat menemukan buku baru, saya pasti menamatkan kata pengantar terlebih dahulu, dari pengantar itulah saya merasa mendapat arahan yang utuh mengenai buku yang akan saya baca.
Dalam pengantar itu, saya disuguhi perdebatan mengenai yang “Statis” dan “Dinamis” sesuatu yang “diam, mapan”, dan sesuatu yang “bergerak, berubah dan anti kemapanan”. Memang, dua kata itu; Statis dan Dinamis sudah seringkali menjadi perdebatan dalam sejarah peradaban manusia, bahkan menjadi konflik berdarah yang berkepanjangan, hanya bimbang memutuskan apakah kita akan berubah sesuai dengan perkembangan zaman atau kita bertahan guna melawan setiap perubahan.
semestinya, konsep kaidah fiqih “menerima pembaruan yang lebih baik dan mempertahankan tradisi lama yang relevan“ bisa menyelesaikan kedua perdebatan itu, namun nyatanya banyak orang yang lebih memilih bertahan dari pada berkreasi untuk menemukan pembaruan. Memang, perubahan memiliki banyak resiko, tak sedikit pembaruan yang bertujuan baik itu justru hanya memperparah keadaan, bahkan berakhir tragis. Dan hal itulah yang selalu menjadi penghalang mereka untuk mengupayakan sebuah perubahan. Bahkan dari ketakutan itu, seringkali mereka bertindak “beringas” ketika menhadapi pihak-pihak yang seringkali melakukan pembaruan.
Dalam sebuah ayat, Tuhan pernah bersumpah dengan menggunakan kata “Waktu atau Masa” (al-ashr). Saya memang bukan ahli tafsir yang kompeten untuk memaknai kata itu, namun pastinya Masa atau Waktu yang disebutkan itu tidaklah statis, ia senantiasa bergerak dan berubah. Dari itu lalu saya berkeyakinan bahwa penggunaan kata itu bukan semata-mata Tuhan ingin menunjukkan bahwa waktu itu adalah hal yang sangat berharga dan harus dimanfaatkan dengan baik, tapi juga ingin “memerintahkan” manusia untuk senantiasa melakukan perubahan; perubahan kearah yang lebih baik.
Mari bersama-sama kita ubah sesuatu yang sepatutnya kita ubah, dan kita pertahankan sesuatu yang pantas untuk dipertahankan.

Pangong-ngangan, 15 April 2013

0 komentar:

Tangisan Sebulir Padi

Posted by Abd. Warits Ilham  |  at  12.50

foto diambil di sini

Buliran Padi yang Terpisah dari Saudaranya akan Menangis kalau Kita Biarkan ia Tetap Terpisah dari saudaranya yang lain”

Masa panen telah tiba, semua petani di desaku sumringah bahagia, tampak jelas gurat-girat kepuasan diwajah mereka, melihat padi yang terhampar di sawah mereka telah mengering dan siap dipanen. Jerih payah dan keluh kesah selama kurang lebih 4 bulan terbayar sudah. Mereka seakan lupa “ketidaknyamanan” yang sempat mereka alami di masa-masa awal proses penanaman. Mereka merasa,  Tuhan benar-benar menyayangi mereka, dengan limpahan rahmatnya yang luar biasa ini.

Hari ini, saya juga akan memanen padi di sawah yang tidak begitu luas. Tapi bukan hasil tanaman saya sendiri, ya sejak beberapa tahun lalu saya sudah tidak punya waktu lagi untuk membantu keluarga saya menanam padi di sawah. Bahkan untuk sekedar mengawasi “keliaran” burung yang suka “memagut” padi semuanya saya pun tidak bisa.

Aktivitas keseharian saya di Instika memang cukup banyak menyita waktu, berangkat pagi dan kembali tiba di rumah mulai menjelang maghrib, bahkan tidak jarang bersamaan dengan adzan maghrib. Tapi rasanya bukan itu alasan utama yang menyebabkan saya tidak bisa membantu “perawatan” padi musim ini, itu hanya menjadi salah satu sebab saja. Sementara sebab utamanya, saya yakini karena saya tidak bisa membagi waktu dengan baik.

Padi dari sawah mulai berdatangan, dengan semangat perjuangan ’45 saya membantu nenek yang sejak pagi tadi menunggu kedatangan padi tersebut, menuangkan padi di halaman rumah agar padi itu mengering dengan sempurna. Padi yang tidak kering sempurna tidak akan tahan lama, kualitasnya akan memburuk seiring dengan jalannya waktu. Bahkan hanya akan menjadi santapan ulat atau kapang (saya tidak tahu apa nama hewan itu dalam bahasa Indonesia, yang jelas hewan itu memakan padi yang disimpan dalam waktu lama, sebaik apa pun kualitas padi itu, akan menjadi tepung dalam waktu beberapa malam saja, biasanya diakibatkan karena padi yang disimpan belum kering sempurna), akhirnya hasil panen kita pun akan rusak. Begitulah petuah nenek, sambil memintaku meratakan padi di halaman rumah.

Beberapa menit berlalu, tugas saya mengais padi belum juga tuntas. Maklum, sekali datang langsung 6 karung, jadi saya harus bekerja keras agar padi yang dituang tersebut benar-benar merasa, sehingga bisa cepat kering. Cuaca hari ini sebenarnya tidak begitu terik, sesekali awan hitam di arah utara menghalangi sinar matahari, tapi kami tidak punya pilihan lain bila menginginkan padi tidak menjadi “kecambah” dalam karung.

“masih tinggal satu karung lagi” gumam saya dalam hati.  Hm..., saya mulai kelelahan, peluh mengucur deras di daerah punggung dan wajah saya, pekerjaan ini benar-benar melelahkan. Lalu kalau mengais padi ini sudah terasa sangat berat bagi saya, bagaimana mereka yang setiap hari bekerja di sawah, di bawah terik matahari yang menyengat, tampa rerindangan pohon yang teduh sama sekali, selain itu upahnya hanya 10 ribu untuk setengah hari? Tentu mereka lebih merasa “berat” dari saya yang hanya membuat padi ini kocar-kacir di halaman. Pekerjaan yang sungguh sangat berat. Beda dengan pekerjaan pegawai pemerintah, atau anggota DPR yang bekerja dalam ruangan ber-AC, terhindar dari terik matahari, selain itu gaji dan tunjangannya bisa puluhan juga dalam sebulan. Nilai yang sangat fantastis, dan tidak berimbang dengan “berat” pekerjaannya.

Akhirnya tugas saya selesai juga, tiba saatnya saya istirahat. Mengeringkan peluh yang membanjiri tubuh ini, terasa begitu sangat lelah. Padahal hanya pekerjaan ringan, rupanya bertahun-tahun “puasa” bertani membuat tubuh saya menjadi manja. Sementara itu, nenek saya masih betah dibawah terik matahari, setelah tadi mengais reruntuhan jerami yang bercampur dengan padi menggunakan tangan sepuhnya, kini ia mengambil sapu lidi, lalu mulai menyapu dengan perlahan bulir-bulir padi tersebut, agar padi yang “kobong” terpisah dari padi yang padat berisi.

Tenaganya sungguh luar biasa, disaat usianya yang sudah 60-an tapi ia masih mampu menyelesaikan pekerjaan berat, di bawah terik matahari lagi. Nafasnya yang tinggal satu-dua tidak jua membuat semangatnya surut untuk membersihkan padi ini. “kita harus bersyukur dengan karunia Tuhan ini, bersyukur itu tidak cukup hanya dengan ucapan alhamdulillah, tapi juga merawat dengan baik dan menggunakan rezeki itu dengan baik pula” petuah nenek disela-sela istirahat kami.

Dua jam berlalu, padi mulai mengering dan menguning sempurna. wajah nenek terlihat semakin sumringah, menikamti cuaca hari ini benar-benar bersahabat. Gumpalan awan di ufuk utara juga mulai menghilang, terik matahari pun semakin menyengat seiring dengan mendekatnya waktu dhuhur.

Kelelahan yang mendera saya sudah tak tertahan lagi, setelah mengais padi untuk 6 karung lagi yang baru datang saya pamit untuk istirahat. Kulit lengan saya rasanya terbakar, tiba-tiba terbersit dalam pikiran saya, kekawatiran kulit saya akan semakin gelap. Ah rupanya, saya mulai terpengaruh dengan standart “keindahan” versi iklan-iklan telivisi yang menekankan bahwa kulin indah itu yang berwarna cerah bahkan putih. Bukan yang hitam kecoklatan, sebagaimana lumrahnya kulit masyarakat madura.
Sebelum saya tertidur, saya masih mengamati nenek yang belum juga beristirahat. Berulang-ulang padi itu terus di sapu, agar kotoran padi benar-benar terpisah. Pandangan saya pun mulai mengabur, lalu terlelap dalam tidur yang melelahkan.


* * * * * * *

Kurang lebih satu jam tiga puluh menit saya tertidur, jam sudah menunjuk angka 2:15, hampir saja saya kecolongan. Saya pun bergagas ke kamar mandi, membersihkan badan dengan kesejukan air, lalu berwudlu’ dan shalat. Saya lihat nenek sudah duduk di emper rumah, masih lengkap dengan mukena. Rupanya beliau sudah selesai shalat, entah apakah ia sempat tertidur seperti saya tadi, atau tidak.

Selesai shalat dhuhur, saya mendekati nenek yang sejak dari tadi mengawasi padi dari patokan ayam, sesekali ia mengusir ayam yang mencoba mendekat dan “curi-curi” mematok padi. Saya pandangi gurat-gurat wajahnya yang mulai udhur, ia hanya tersenyum saja. “tidak tidur nek” sapa saya. “Kalau tidur, siapa yang akan jaga padi kalau sewaktu-waktu langit tiba-tiba mau hujan” jawabnya santai. “Sana shalat ashar, nanti keburu tidak punya wudhu” saya langsung shalat meninggalkannya yang masih awas mengusir ayam-ayam nakal milik kami yang tidak seberapa, tampa mengomentari ucapannya tadi.

Selesai shalat, kami kembali bergulat dengan padi. Saya mencoba membantu menyapu, tapi yang terjadi bukan hanya kotoran padi yang tersampu, tapi padinya juga kocar-kacir. Ternyata, pekerjaan ringan ini butuh kehlian terlatih. Akhirnya saya menyerah saja, dan memilih pekerjaan lain, yakni memukul beberapi jerami yang sejak tadi dikumpulkan nenek.

Kenapa jerami ini mesti di pukul begini nek” saya mencoba komplain, sebab rasanya pekerjaan ini tidak berguna. “kan padinya juga tak seberapa, palingan juga secangkir, kasihkan aja sama ayam, kan tidak mubadzir” saya berujar. Nenek hanya tersenyum saja mendengar ucapan saya.

Padi yang terkumpul banyak di depan mata kita ini, awalnya adalah bulir-bulir terpisah seperti yang kamu kumpulkan itu, kata orang tua dulu buliran padi yang terpisah dari saudaranya kalau tetap kita biarkan terpisah dari yang lain, ia tidak henti-hentinya menangis, dan akan menyebabkan padi kita tidak berkah” ucapnya lalu menlanjutnya menyapu padi.

Saya mencoba mencerna ucapan nenek, sambil terus memukul tumpukan jerami, agar padinya rontok dari tangkainya. Memang kalau dienungi, ungkapan kuno itu mengandung filosofi yang sangat dalam. Padi akan menangis saat ia terpisah dengan saudaranya, memang tidak akan ada padi menangis. Sebab ia tidak bisa bersuara. Tapi melalui ungkapan itu, akan mengajarkan kita untuk “ngemani” (red: menyayangi) padi yang tercecer. Sehingga dengan begitu, padi yang terkumpul akan bertambah banyak, dan tentunya juga akan lebih awet. Nah awet itulah yang kemudian lumrah disebut berkah.

Matahari sudah mulai condong di ufuk barat, perlahan-lahan kami memindahkan padi di halaman ke emperan rumah, agar terhindar dari hujan. Kata Nenek, cukup sekali lagi padi itu dijemur seharian padi akan mengering sempurna, dan tentunya siap disimpan. “Lusa kita giling sekarung, nanti nenek masakin nasi kesukannmu” ujar nenek pelan. Saya merasa senang sekali, terbayang masa kanak-kanak saya yang selalu merengek minta agar nenek menanak nasi dari beras baru, lalu dimasak menggunakan tunggku yang terbuat dari tanah liat, rasanya sungguh luar biasa. Nasi terasa lebih lembut, kunyahanya begitu kenyal di lidah, dan baunya sangat menggugah selera. Kalau sudah ada nasi seperti itu, saya terkadang makan hingga lima kali sehari.

Selesai sudah padi kami pindahkan ke emperan rumah, tubuh saya mulai terasa sakit dan pegal. Padahal hanya sehari ini saya membantu pekerjaan keluarga, kedua orang tua saya juga sudah datang dari sawah. Para pekerja juga sudah mulai pulang kerumah masing-masing, setelah mereka mendapatkan upah sebesar 35 ribu rupiah, hem... berkutat mengangkut berkarung-karung padi dari sawah dengan jarak sekitar 6 Km seharian hanya mendapat upah 35 ribu? Ya hidup memang butuh perjuangan, dan petani memang selalu akrab dengan “pekerjaan berat”.

Sementara nenek saya perhatikan sedang berjalan sambil jongkok, setelah saya amati ternyata beliau memunguti ceceran padi satu persatu yang tertinggal, saya pun mulai membantuya memunguti buliran padi yang tercecer itu, saya tidak mau mereka menangis karena terpisah dari saudaranya. Hasilnya ternyata cukup banyak, ada segenggam padi yang saya dapatkan di tangan kiri saya. Tentunya, bila ia dimasak akan cukup dimakan dengan 3 kali suapan.


Pangong-ngangan Madura, 05 April 2013
Salam Pangestoh

0 komentar:

Pengikut

Copyright © 2013 Pengintai Senja. WP Theme-junkie converted by BloggerTheme9
Blogger template. Proudly Powered by Blogger.
back to top