Mengembalikan Pesantren sebagai Jantung Peradaban

Posted by Abd. Warits Ilham  |  at  12.48

Catatan Bersama Ahmad Baso
Minggu, 06 Oktober 2013

.



“Indonesia tidak akan pernah mampu meraih kemerdekannya tanpa adanya peran pesantren”

Ungkapan tersebut tanpaknya tidak berlebihan; bukan bermaksud menafikan peran pihak lain, bila mengingat peran pesantren yang sangat luar biasa dalam masa-masa perjuangan warga Indonesia membebaskan diri dari cengkraman penjajah. Mereka adalah sepasukan barisan terdepan dalam riak perjuangan dalam mengusir penjajah dari bumi Nusantara. Dengan semangat Jihad yang dikobarkan oleh hampir semua kiai-kiai di pesantren, rakyat Indonesia yang mayoritas beragama islam saling bahu membahu dalam pertempuran, meski harus berhadapan dengan ganasnya meriam dan bom walau hanya dengan bermodal bambu runcing.
Bahkan beberapa “jenderal” pasukan gerilyawan selalu meminta doa restu, bahkan juga mendapat “jimat” (yang selama ini dianggap tidak rasional) dari kiai. Dan ternyata doa restu dan Jimat itu menjadi suatu “sumber” kekuatan luar biasa bagi mereka ketika menghadapi musuh dengan senjata, dan strategi perang yang jauh lebih maju dari yang dimiliki kaum pejuang di masa itu.
Itulah salah satu penyebab “langgengnya” perjuangan masyarakat Nusantara dalam mengusir penjajah guna meraih kemerdekaan, meski persenjataan tidak berimbang tapi tidak ada kata menyerah dalam proses perjuangan. Karena itu, keberadaan Belanda di Indonesia selama kurang lebih 350 tahun tidak pernah senggang dari perlawanan warga Indonesia.
Dalam perannanya, pesantren tidak hanya menjadi “benteng” bagi basis perjuangan pasukan gerilyawan. Tapi keberadaan mereka juga menjadi tameng masuknya budaya dan tradisi asing yang dibawa oleh penjajah belanda. Dengan begitu, kondisi ideologis masyarakat Indonesia dapat terjaga dengan baik meski mengalami penjajahan selama lebih dari tiga abad.
Tentunya, penjajahan fisik yang disertai dengan penjajahan ideologi akan memiliki efek yang lebih kuat daripada sekedar penjajahan fisik. Ketika ideologi masyarakat nusantara ikut terjajah, pada akhirnya mereka akan memilih menjadi bagian negara belanda dari pada menjadi negara sendiri yang berdaulat. Sebab, secara perlahan akan muncul pengakuan dari masyarakat bahwa negara penjajah tersebut lebih baik dari negara kita, dan sepantasnya kita pun menjadi bagiannya. Dengan munculnya pengakuan itu, maka semangat untuk “mengusir” penjajah pun semakin meredup. Kita harus bersyukur dengan peran ganda pesantren tersebut.
Inilah peran pesantren yang tak banyak diapresiasi orang. Padahal menjaga ideologi masyarakat agar tetap berada dalam koridor keislaman berbasis identitas kenusantaraan tidaklah mudah. Apalagi ditengah-tengah situasi yang sangat kacau akibat penjajahan, dimana kelaparan akibat pemiskinan dari penjajah menjadi tantangan utamanya. Karena itu tidak heran, jika banyak kita temukan saudara-saudara kita bersedia menjadi kaki tangan belanda hanya untuk mendapatkan “sepotong” keju.
Ahmad Baso dalam pemaparannya saat memberikan kuliah umum pada PPS Instika menceritkan bahwa pesantren menjadi jantung peradaban indonesia. Mereka bukanlah konsumen peradaban sebagaimana banyak dituduhkan kalangan oreintalis, tapi sebaliknya merekalah pencipta peradaban itu sendiri. Pimpinan gerilyawan sekaliber bapak Soedirman, soekarno, dan banyak tokoh pejuang lainnya sangat mengakui kualitas kelimuan kiai. Mereka pun senantiasa mohon petunjuk pada kiai dalam setiap akan melakukan gerilya.
Bahkan dr. Soetomo yang dikenal sebagai tokoh nasionalis menegaskan bahwa sistem pendidikan yang pas untuk dijadikan percontohan pendidikan di Indonesia tiada lain kecuali sistem pendidikan pesantren. Sebab pesantren tidak hanya mengajarkan keilmuan, tapi juga menanamkan “karakter” agar anak didik tidak hanya cerdas dari segi intlektual, tapi juga cerdas secara spiritualitas dan tindakan. Sementara sistem pendidikan ala belanda hanyalah melahirkan kader-kader “robot” yang siap mengabdi pada belanda. Bahkan, Taman siswa yang digagas oleh K. Hajar Dewantara, yang sampai saat ini diakui sebagai gerakan awal kebangkitan pendidikan menurutnya juga mengadopsi sistem pendidikan pesantren yang diyakini mampu memberikan pendidikan secara utuh.
Hanya saja, pada perkembangan selanjutnya pesantren mulai diperlakukan dengan tidak adil. Adanya beberapa perguruan tinggi keislaman yang awalnya di komandani oleh kiai-kiai asal pesantren, mulai digeser hanya karena mereka tidak memiliki gelar akademik setingkat master maupun doktor. Padahal kualitas keilmuan mereka jauh lebih matang dari pada mereka yang mendapatkan ilmu dari dunia barat, yang konstruk keilmuannya memang bertujuan “menghegemoni” peradaban diluar komunitasnya.
Sejak saat itu, secara perlahan peran pesantren mulai “dilumpuhkan” baik dari segi pendidikan maupun politik kepemerintahan. Mereka hanya diberi wewenang mengurusi persoalan agama saja, padahal antara urusan agama dengan realitas kehidupan nyata tak dapat dipisahkan.
Tidak hanya itu, ketika pesantren mencoba menggagas lembaga pendidikan yang lebih baik, mereka juga mendapat tekanan dengan berbagai aturan kurikulum yang kaku. Namun demikian, pesantren tidak pernah menyerah. Mereka terus melalukan inovasi dan perbaikan-perbaikan agar keberadaannya tetap bermanfaat ditengah-tengah masyarakat.
Ternyata, pesantren sekali lagi menunjukkan kejayannya. Semakin pesantren mendapatkan tekanan, dan dipandang sebelah mata, Justru kajian tentang konstruk pendidikan pesantren terus mendapatkan perhatian serius dari berbagai kalangan. Dan dari berbagai kajian tersebut, decak kekaguman terhadap pendidikan pesantren terus bermunculan. Akhirnya, secara “malu-malu” sistem pendidikan pesantren mulai diadopsi dengan sembunyi-sembunyi oleh berbagai pihak yang dulu “menghina” pendidikan pesantren dengan istilah “kejumudan, tidak maju, katrok, amburadul” dan beberapa kalimat tak sedap lainnya.
Hal ini kiranya dapat kita lihat dengan adanya beberapa lembaga pendidian formal yang mengadakan program full day school, bimbingan khusus, pengasramaan, yang semua itu telah lama dipraktekkan oleh pesantren.
Saati ini, sepertinya pesantren mulai mendapatkan simpati dari berbagai kalangan. Sehingga ada opsi dari berbagai kalangan, bahwa jika indonesia ingin meraih kejayannya maka harus kembali pada sistem pendidikan pesantren. Sebab, konsep pendidikan sekuler telah nyata-nyata gagal melahirkan kader terbaik di negeri ini. Secara kecerdasan intlektual memang nampak hasil yang cemerlang, tapi secara ideologis dan spiritualitas mereka amat kering. Sehingga tidak heran, bila kita seringkali menemukan seorang doktor maupun profesor ternama tersandung kasus korupsi.
Adanya kepercayaan dari kemenag bagi Instika untuk membuka program pascasarjana prodi PAI dengan konsentrasi kajian pendidikan pesantren tentu merupakan angin segar bagi perkembangan iklim pendidikan pesantren. Dari kajian inilah nanti diharapkan adanya temuan baru mengenai “keunggulan” pendidikan pesantren.
Memang ini merupakan tantangan yang berat. Sebab tidak mudah memperbaiki sebuah kondisi setelah keadaan kita hampir rata dengan tanah. “kalian adalah as-shabiqunal awwalun, yang merupakan calon-calon kader terbaik dalam kajian kepesantrenan ini” itulah salah satu kalimat motivasi yang disampaikan Ahmad Baso disela-sela penyajiannya.
Adanya PPS Instika dengan konsentrasi kajian pendidikan pesantren merupakan pintu masuk untuk mengembalikan pesantren sebagai jantung perdaban di Indonesia. Dari pendidikan pesantrenlah, yang memang sesuai dengan karakter keindonesiaan, nantinya akan dilahirkan sosok pemimpin sejati yang tidak hanya cerdas secara intlektual tapi juga cerdas secara spititual dan tindakan. Sehingga semakin cerdas eorang itu, maka dia semakin baik dalam bertindak.
Karena itu, keberadaan pps ini sangatlah strategis untuk membangkitkan pendidikan pesantren sebagai basis peradaban di Indonesia. Inilah cara terbaik utuk merebut kejayaan indonesia yang selama ini dikendalikan bangsa asing.


Kota Batu Malang, 08 Oktober 2013

0 komentar:

Pengikut

Copyright © 2013 Pengintai Senja. WP Theme-junkie converted by BloggerTheme9
Blogger template. Proudly Powered by Blogger.
back to top