Meningkatkan Mutu, Mempertahankan Karakter
Posted by Abd. Warits Ilham |  at 11.49
No comments
Belajar dari Ibu Mardiyah,
Banyak orang berfikir, bahwa meningkatkan mutu beriringan dengan jumlah uang yang digelontorkan. Pikiran itu tidak sepenuhnya benar, meski dengan adanya dana yang melimpah kesempatan untuk meningkatkan pelayanan dan kualitas sebuah lembaga bisa lebih maksimal. Hanya saja, banyaknya jumlah dana yang tersedia tak akan berdampak apa-apa tampa diikuti dengan adanya seoang pemimpin yang tegas, inovatif dan kreatif.
Banyak orang berfikir, bahwa meningkatkan mutu beriringan dengan jumlah uang yang digelontorkan. Pikiran itu tidak sepenuhnya benar, meski dengan adanya dana yang melimpah kesempatan untuk meningkatkan pelayanan dan kualitas sebuah lembaga bisa lebih maksimal. Hanya saja, banyaknya jumlah dana yang tersedia tak akan berdampak apa-apa tampa diikuti dengan adanya seoang pemimpin yang tegas, inovatif dan kreatif.
Hari ini merupakan minggu kedua saya kuliah
di Uin Malang. Tak sedikit pencerahan yang sudah saya dapatkan baik yang
berkaitan dengan cara berfikir, cara menganalisis persoalan, maupun cara berkesimpulan.
Hari ini saya mengikuti mata kuliah
Manajemen Mutu Pendidikan Islam yang diampu Ibu Mardiyah. Awalnya aku tidak
begitu semangat mengikuti perkuliahan ini, sebab sedang sakit perut. Entah
mengapa, sejak pertama kali di Malang, sakit perut menjadi langganan saya di
pagi hari.
Tapi, mendengar kalimat pembuka dari Ibu
Mardiyah, saya sudah mulai merasakan bahwa materi kali ini akan sangat menarik.
Beliau mengawalai dengan mempertanyakan pengertian tentang mutu. “Apa sih
mutu”begitulah beliau menyampaikan pertanyaannya pada mahasiswa.
Sebelum ada mahasiswa yang menjawab, Ibu
Mardiyah bercerita tentang pengalamannya melakukan penelitian di tiga pesantren
besar dengan ciri khas dan karakter sendiri. Beberapa pesantren itu antara
lain: Gontor, yang dikenal sebagai pondok Modern, Ponpes Lirboyo sebagai
pesantren Salaf dan Pesantren Tebuireng Jombang yang mewakili pesantren salaf
tapi mengadopsi sistem modern.
Ketiga pesantren tesebut besar dengan ciri
khas masing-masing, Gontor misalnya dikenal banyak melahirkan alumni yang hebat
dalam berbahasa arab, dan juga banyak melahirkan pemimpin bangsa. Sementara Lirboyo
terkenal dengan santrinya yang menguasai Ilmu Nahwu dan tata bahasa Arab. Sedangkan
Tebuireng, pesantren yang dibesarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari, seorang ulama
yang turut membidani lahirnya Nahdlatul Ulama, dikenal sebagai sosok yang
kharismatik dan keilmuannya yang sangat mumpuni hingga KH. Khalil Bangkalan
turut berguru pada beliau dalam hal Ilmu Hadits.
Uniknya, kedua pesantren di atas, Gontor
dan Lirboyo sama-sama tidak mengadopsi kurikulum nasional dan tidak mengikuti
Ujian Nasional. Namun begitu, santri yang berdatangan untuk belajar di kedua
pesantren tersebut di atas tak juga berkurang. Melalui mendekatan kajian Feminologis, Ibu Mardiyah
mencoba menganalisis ketiga pesantren tersebut dari sudut pandang “mempertahankan”
mutu pendidikan pesantren. Begitulah yang sempat saya tangkap dari diskusi yang
berlangsung selama kurang lebih dua jam tersebut.
Dari pemaparan tersebut, dapat saya tangkap
bahwa mempertahankan mutu tak ubahanya dengan mempertahankan karakter dan ciri
khas yang melekat pada sebuah lembaga, dan hal ini sudah dimulai oleh para
ulama kita terdahulu. Ada ribuan pesantren yang usianya sudah ratusan tahun,
dengan ciri khas dan karakter tersendiri, mulai dari persoalan sastra dan
gramatikan bahasa, kajian Hadits, al-Qur’an dan Fiqh bahkan kajian ilmu politik
juga tak luput dari perhatian pesantren.
Karena itu, bila kita merujuk pada analisis
Ahmad Baso dalam buku Pesantren Studies, tidak tepat saya kira bila kita “mengakui”bahwa
SDM masyarakat kita lemah. Adanya sejumlah pesantren dengan berbagai konsentrasi
kajiannya cukup membuktikan bahwa masyarakat kita cukup berdaya secara
intlektual.
Hanya saja, dengan “kelicikan” beberapa
peneliti barat yang serta merta “memecah-belah”keilmuan pesantren dan memberikan
“standart” keilmuan semau mareka, bahkan “mecuri” beberapa kitab hasil
pemikiran cendekiawan kita, mereka pun dengan sukses “memaksa” kita mengakui
bahwa kita “bodoh” dan bila ingin “pintar” harus meniru gaya berfikir
orang-orang barat.
Memang harus kita akui, ada banyak
kekurangan yang terdapat pada masyarakat kita, tapi bukan berarti mereka adalah
orang bodoh dan sama sekali tidak mampu berfikir. Kalau kita mau, ada banyak
keilmuan masyarakat yang patut kita teladani. Cobalah kita datangi mereka, dan
belajar bagaimana mereka menggerakkan tradisi, bagaimana cara mereka bersikap,
maka kita akan menemukan banyak hal yang selama ini tidak kita ketahui. Kita pun
akan menemukan bahwa masyarakat kita sangat kaya dengan “filosofi” dalam setiap
aktivitas yang mereka jalani.
Hanya saja, mereka tidak mampu menyampaikan
ilmu mereka melalui tulisan dalam sebuah jurnal. Yang mereka lakukan hanyalah
mewariskan pada anak dan cucu-cucunya, itupun sudah banyak yang mulai antipati.
Adanya ketiga pesantren yang diteliti oleh
Ibu Mardiyah dan ketiga-tiganya tetap eksis dalam mempertahankan karakter dan
ciri khasnya, bahkan terus berkembang meski “sistem pembelajarannya” tidak
mengikuti selera dan “kemauan pasar” cukup menyentak pikiran saya.
Ditengah-tengah zaman global yang penuh
daya saing ini, tak ada pilihan lain jika kita ingin tetap eksis dan
berkembang, yaitu mempertahankan ciri khas dan menampakkan karakter adalah
salah satu jalan utama yang harus kita lakukan.
Mutu
dan Semangat Memprotek Diri
“Mengikuti selera
pasar, maupun tidak sama sekali itu tidak jadi persoalan. Asal kita tetap mampu
mempertahankan dan menunjukkan karakter berikut ciri khas kita”
Itulah kesimpulan yang dapat saya rumuskan
dari perkuliahan siang ini, ketika teman-teman mendiskusikan lebih lanjut
tentang mutu sebuah lembaga pendidikan. Sebab, banyak masyarakat beranggapan
semakin mahal dan semakin update
sistem pembelajaran sebuah lembaga itu artinya mutu lembaga tersebut akan
semakin terjamin.
Memang, nilai dan karakter yang telah
melekat itulah yang menjadi tolok ukur sebuah “mutu” baik tidak sebuah lembaga
pendidikan. Ketiga pesantren yang disebutkan di atas tersebut mampu bertahan
bahkan berkembang dengan pesat karena mampu mempertahankan “nilai-nilai
kesantrian” yang selama ini diyakini dan dikembangkan oleh para pendahulunya.
Bahkan menurut penuturan Ibu Mariyah, tidak
sedikit pesatren yang dulunya menjadi rujuakan masyarakat indonesia saat ini
tenggelam dan merosot tajam, hanya karena tidak “tegas” mempertahankan
nilai-nilai kesantrian yang dulu sempat dibangun oleh sang kiai.
Karena itu, mengikuti perkembangan zaman
atau tidak sama sekali, itu bukanlah “titik” paling penting dalam
mempertahankan dan meningkatkan mutu sebuah lembaga pendidikan. Yang paling
penting adalah menunjukkan karakter dan ciri khas yang kita miliki. Meski tentunya,
mengikuti perkembangan zaman namun tetap eksis mempertahankan karakter dan ciri
khas kita itu tetap lebih baik dan akan semakin banyak diminati banyak orang.
Malang,
Kota Batu 19 September2013
Tagged as: Catatan, daftar isi
Arits Ilham
Orang sederhana, cenderung merasa kekurangan, tidak pernah puas dengan proses belajar yang telah dilakukanya. Baginya, tidak ada kata berhenti untuk sebuah pembelajaran, salah satu konsep hidupnya, belajar terus menerus meski berulang kali mengantarkannya pada kesalahan dan kekalahan. Tekadnya, berupaya memberikan senyum kesejukan pada orang lain.
Langganan
Jika ingin berlangganan tulisan di blog ini, silahkan pasang email Anda di kolom berikut
Bagikan ke
Tulisan Terkait
0 komentar: