Tangisan Sebulir Padi

Posted by Abd. Warits Ilham  |  at  12.50 No comments

foto diambil di sini

Buliran Padi yang Terpisah dari Saudaranya akan Menangis kalau Kita Biarkan ia Tetap Terpisah dari saudaranya yang lain”

Masa panen telah tiba, semua petani di desaku sumringah bahagia, tampak jelas gurat-girat kepuasan diwajah mereka, melihat padi yang terhampar di sawah mereka telah mengering dan siap dipanen. Jerih payah dan keluh kesah selama kurang lebih 4 bulan terbayar sudah. Mereka seakan lupa “ketidaknyamanan” yang sempat mereka alami di masa-masa awal proses penanaman. Mereka merasa,  Tuhan benar-benar menyayangi mereka, dengan limpahan rahmatnya yang luar biasa ini.

Hari ini, saya juga akan memanen padi di sawah yang tidak begitu luas. Tapi bukan hasil tanaman saya sendiri, ya sejak beberapa tahun lalu saya sudah tidak punya waktu lagi untuk membantu keluarga saya menanam padi di sawah. Bahkan untuk sekedar mengawasi “keliaran” burung yang suka “memagut” padi semuanya saya pun tidak bisa.

Aktivitas keseharian saya di Instika memang cukup banyak menyita waktu, berangkat pagi dan kembali tiba di rumah mulai menjelang maghrib, bahkan tidak jarang bersamaan dengan adzan maghrib. Tapi rasanya bukan itu alasan utama yang menyebabkan saya tidak bisa membantu “perawatan” padi musim ini, itu hanya menjadi salah satu sebab saja. Sementara sebab utamanya, saya yakini karena saya tidak bisa membagi waktu dengan baik.

Padi dari sawah mulai berdatangan, dengan semangat perjuangan ’45 saya membantu nenek yang sejak pagi tadi menunggu kedatangan padi tersebut, menuangkan padi di halaman rumah agar padi itu mengering dengan sempurna. Padi yang tidak kering sempurna tidak akan tahan lama, kualitasnya akan memburuk seiring dengan jalannya waktu. Bahkan hanya akan menjadi santapan ulat atau kapang (saya tidak tahu apa nama hewan itu dalam bahasa Indonesia, yang jelas hewan itu memakan padi yang disimpan dalam waktu lama, sebaik apa pun kualitas padi itu, akan menjadi tepung dalam waktu beberapa malam saja, biasanya diakibatkan karena padi yang disimpan belum kering sempurna), akhirnya hasil panen kita pun akan rusak. Begitulah petuah nenek, sambil memintaku meratakan padi di halaman rumah.

Beberapa menit berlalu, tugas saya mengais padi belum juga tuntas. Maklum, sekali datang langsung 6 karung, jadi saya harus bekerja keras agar padi yang dituang tersebut benar-benar merasa, sehingga bisa cepat kering. Cuaca hari ini sebenarnya tidak begitu terik, sesekali awan hitam di arah utara menghalangi sinar matahari, tapi kami tidak punya pilihan lain bila menginginkan padi tidak menjadi “kecambah” dalam karung.

“masih tinggal satu karung lagi” gumam saya dalam hati.  Hm..., saya mulai kelelahan, peluh mengucur deras di daerah punggung dan wajah saya, pekerjaan ini benar-benar melelahkan. Lalu kalau mengais padi ini sudah terasa sangat berat bagi saya, bagaimana mereka yang setiap hari bekerja di sawah, di bawah terik matahari yang menyengat, tampa rerindangan pohon yang teduh sama sekali, selain itu upahnya hanya 10 ribu untuk setengah hari? Tentu mereka lebih merasa “berat” dari saya yang hanya membuat padi ini kocar-kacir di halaman. Pekerjaan yang sungguh sangat berat. Beda dengan pekerjaan pegawai pemerintah, atau anggota DPR yang bekerja dalam ruangan ber-AC, terhindar dari terik matahari, selain itu gaji dan tunjangannya bisa puluhan juga dalam sebulan. Nilai yang sangat fantastis, dan tidak berimbang dengan “berat” pekerjaannya.

Akhirnya tugas saya selesai juga, tiba saatnya saya istirahat. Mengeringkan peluh yang membanjiri tubuh ini, terasa begitu sangat lelah. Padahal hanya pekerjaan ringan, rupanya bertahun-tahun “puasa” bertani membuat tubuh saya menjadi manja. Sementara itu, nenek saya masih betah dibawah terik matahari, setelah tadi mengais reruntuhan jerami yang bercampur dengan padi menggunakan tangan sepuhnya, kini ia mengambil sapu lidi, lalu mulai menyapu dengan perlahan bulir-bulir padi tersebut, agar padi yang “kobong” terpisah dari padi yang padat berisi.

Tenaganya sungguh luar biasa, disaat usianya yang sudah 60-an tapi ia masih mampu menyelesaikan pekerjaan berat, di bawah terik matahari lagi. Nafasnya yang tinggal satu-dua tidak jua membuat semangatnya surut untuk membersihkan padi ini. “kita harus bersyukur dengan karunia Tuhan ini, bersyukur itu tidak cukup hanya dengan ucapan alhamdulillah, tapi juga merawat dengan baik dan menggunakan rezeki itu dengan baik pula” petuah nenek disela-sela istirahat kami.

Dua jam berlalu, padi mulai mengering dan menguning sempurna. wajah nenek terlihat semakin sumringah, menikamti cuaca hari ini benar-benar bersahabat. Gumpalan awan di ufuk utara juga mulai menghilang, terik matahari pun semakin menyengat seiring dengan mendekatnya waktu dhuhur.

Kelelahan yang mendera saya sudah tak tertahan lagi, setelah mengais padi untuk 6 karung lagi yang baru datang saya pamit untuk istirahat. Kulit lengan saya rasanya terbakar, tiba-tiba terbersit dalam pikiran saya, kekawatiran kulit saya akan semakin gelap. Ah rupanya, saya mulai terpengaruh dengan standart “keindahan” versi iklan-iklan telivisi yang menekankan bahwa kulin indah itu yang berwarna cerah bahkan putih. Bukan yang hitam kecoklatan, sebagaimana lumrahnya kulit masyarakat madura.
Sebelum saya tertidur, saya masih mengamati nenek yang belum juga beristirahat. Berulang-ulang padi itu terus di sapu, agar kotoran padi benar-benar terpisah. Pandangan saya pun mulai mengabur, lalu terlelap dalam tidur yang melelahkan.


* * * * * * *

Kurang lebih satu jam tiga puluh menit saya tertidur, jam sudah menunjuk angka 2:15, hampir saja saya kecolongan. Saya pun bergagas ke kamar mandi, membersihkan badan dengan kesejukan air, lalu berwudlu’ dan shalat. Saya lihat nenek sudah duduk di emper rumah, masih lengkap dengan mukena. Rupanya beliau sudah selesai shalat, entah apakah ia sempat tertidur seperti saya tadi, atau tidak.

Selesai shalat dhuhur, saya mendekati nenek yang sejak dari tadi mengawasi padi dari patokan ayam, sesekali ia mengusir ayam yang mencoba mendekat dan “curi-curi” mematok padi. Saya pandangi gurat-gurat wajahnya yang mulai udhur, ia hanya tersenyum saja. “tidak tidur nek” sapa saya. “Kalau tidur, siapa yang akan jaga padi kalau sewaktu-waktu langit tiba-tiba mau hujan” jawabnya santai. “Sana shalat ashar, nanti keburu tidak punya wudhu” saya langsung shalat meninggalkannya yang masih awas mengusir ayam-ayam nakal milik kami yang tidak seberapa, tampa mengomentari ucapannya tadi.

Selesai shalat, kami kembali bergulat dengan padi. Saya mencoba membantu menyapu, tapi yang terjadi bukan hanya kotoran padi yang tersampu, tapi padinya juga kocar-kacir. Ternyata, pekerjaan ringan ini butuh kehlian terlatih. Akhirnya saya menyerah saja, dan memilih pekerjaan lain, yakni memukul beberapi jerami yang sejak tadi dikumpulkan nenek.

Kenapa jerami ini mesti di pukul begini nek” saya mencoba komplain, sebab rasanya pekerjaan ini tidak berguna. “kan padinya juga tak seberapa, palingan juga secangkir, kasihkan aja sama ayam, kan tidak mubadzir” saya berujar. Nenek hanya tersenyum saja mendengar ucapan saya.

Padi yang terkumpul banyak di depan mata kita ini, awalnya adalah bulir-bulir terpisah seperti yang kamu kumpulkan itu, kata orang tua dulu buliran padi yang terpisah dari saudaranya kalau tetap kita biarkan terpisah dari yang lain, ia tidak henti-hentinya menangis, dan akan menyebabkan padi kita tidak berkah” ucapnya lalu menlanjutnya menyapu padi.

Saya mencoba mencerna ucapan nenek, sambil terus memukul tumpukan jerami, agar padinya rontok dari tangkainya. Memang kalau dienungi, ungkapan kuno itu mengandung filosofi yang sangat dalam. Padi akan menangis saat ia terpisah dengan saudaranya, memang tidak akan ada padi menangis. Sebab ia tidak bisa bersuara. Tapi melalui ungkapan itu, akan mengajarkan kita untuk “ngemani” (red: menyayangi) padi yang tercecer. Sehingga dengan begitu, padi yang terkumpul akan bertambah banyak, dan tentunya juga akan lebih awet. Nah awet itulah yang kemudian lumrah disebut berkah.

Matahari sudah mulai condong di ufuk barat, perlahan-lahan kami memindahkan padi di halaman ke emperan rumah, agar terhindar dari hujan. Kata Nenek, cukup sekali lagi padi itu dijemur seharian padi akan mengering sempurna, dan tentunya siap disimpan. “Lusa kita giling sekarung, nanti nenek masakin nasi kesukannmu” ujar nenek pelan. Saya merasa senang sekali, terbayang masa kanak-kanak saya yang selalu merengek minta agar nenek menanak nasi dari beras baru, lalu dimasak menggunakan tunggku yang terbuat dari tanah liat, rasanya sungguh luar biasa. Nasi terasa lebih lembut, kunyahanya begitu kenyal di lidah, dan baunya sangat menggugah selera. Kalau sudah ada nasi seperti itu, saya terkadang makan hingga lima kali sehari.

Selesai sudah padi kami pindahkan ke emperan rumah, tubuh saya mulai terasa sakit dan pegal. Padahal hanya sehari ini saya membantu pekerjaan keluarga, kedua orang tua saya juga sudah datang dari sawah. Para pekerja juga sudah mulai pulang kerumah masing-masing, setelah mereka mendapatkan upah sebesar 35 ribu rupiah, hem... berkutat mengangkut berkarung-karung padi dari sawah dengan jarak sekitar 6 Km seharian hanya mendapat upah 35 ribu? Ya hidup memang butuh perjuangan, dan petani memang selalu akrab dengan “pekerjaan berat”.

Sementara nenek saya perhatikan sedang berjalan sambil jongkok, setelah saya amati ternyata beliau memunguti ceceran padi satu persatu yang tertinggal, saya pun mulai membantuya memunguti buliran padi yang tercecer itu, saya tidak mau mereka menangis karena terpisah dari saudaranya. Hasilnya ternyata cukup banyak, ada segenggam padi yang saya dapatkan di tangan kiri saya. Tentunya, bila ia dimasak akan cukup dimakan dengan 3 kali suapan.


Pangong-ngangan Madura, 05 April 2013
Salam Pangestoh

Arits Ilham

Orang sederhana, cenderung merasa kekurangan, tidak pernah puas dengan proses belajar yang telah dilakukanya. Baginya, tidak ada kata berhenti untuk sebuah pembelajaran, salah satu konsep hidupnya, belajar terus menerus meski berulang kali mengantarkannya pada kesalahan dan kekalahan. Tekadnya, berupaya memberikan senyum kesejukan pada orang lain.

Langganan

Jika ingin berlangganan tulisan di blog ini, silahkan pasang email Anda di kolom berikut

Bagikan ke

Tulisan Terkait

0 komentar:

Pengikut

Copyright © 2013 Pengintai Senja. WP Theme-junkie converted by BloggerTheme9
Blogger template. Proudly Powered by Blogger.
back to top