What's New Here?

    Mengembalikan Pesantren sebagai Jantung Peradaban

    Mengembalikan Pesantren sebagai Jantung Peradaban

    Posted by Abd. Warits Ilham  |  at  12.48

    Catatan Bersama Ahmad Baso
    Minggu, 06 Oktober 2013

    .



    “Indonesia tidak akan pernah mampu meraih kemerdekannya tanpa adanya peran pesantren”

    Ungkapan tersebut tanpaknya tidak berlebihan; bukan bermaksud menafikan peran pihak lain, bila mengingat peran pesantren yang sangat luar biasa dalam masa-masa perjuangan warga Indonesia membebaskan diri dari cengkraman penjajah. Mereka adalah sepasukan barisan terdepan dalam riak perjuangan dalam mengusir penjajah dari bumi Nusantara. Dengan semangat Jihad yang dikobarkan oleh hampir semua kiai-kiai di pesantren, rakyat Indonesia yang mayoritas beragama islam saling bahu membahu dalam pertempuran, meski harus berhadapan dengan ganasnya meriam dan bom walau hanya dengan bermodal bambu runcing.
    Bahkan beberapa “jenderal” pasukan gerilyawan selalu meminta doa restu, bahkan juga mendapat “jimat” (yang selama ini dianggap tidak rasional) dari kiai. Dan ternyata doa restu dan Jimat itu menjadi suatu “sumber” kekuatan luar biasa bagi mereka ketika menghadapi musuh dengan senjata, dan strategi perang yang jauh lebih maju dari yang dimiliki kaum pejuang di masa itu.
    Itulah salah satu penyebab “langgengnya” perjuangan masyarakat Nusantara dalam mengusir penjajah guna meraih kemerdekaan, meski persenjataan tidak berimbang tapi tidak ada kata menyerah dalam proses perjuangan. Karena itu, keberadaan Belanda di Indonesia selama kurang lebih 350 tahun tidak pernah senggang dari perlawanan warga Indonesia.
    Dalam perannanya, pesantren tidak hanya menjadi “benteng” bagi basis perjuangan pasukan gerilyawan. Tapi keberadaan mereka juga menjadi tameng masuknya budaya dan tradisi asing yang dibawa oleh penjajah belanda. Dengan begitu, kondisi ideologis masyarakat Indonesia dapat terjaga dengan baik meski mengalami penjajahan selama lebih dari tiga abad.
    Tentunya, penjajahan fisik yang disertai dengan penjajahan ideologi akan memiliki efek yang lebih kuat daripada sekedar penjajahan fisik. Ketika ideologi masyarakat nusantara ikut terjajah, pada akhirnya mereka akan memilih menjadi bagian negara belanda dari pada menjadi negara sendiri yang berdaulat. Sebab, secara perlahan akan muncul pengakuan dari masyarakat bahwa negara penjajah tersebut lebih baik dari negara kita, dan sepantasnya kita pun menjadi bagiannya. Dengan munculnya pengakuan itu, maka semangat untuk “mengusir” penjajah pun semakin meredup. Kita harus bersyukur dengan peran ganda pesantren tersebut.
    Inilah peran pesantren yang tak banyak diapresiasi orang. Padahal menjaga ideologi masyarakat agar tetap berada dalam koridor keislaman berbasis identitas kenusantaraan tidaklah mudah. Apalagi ditengah-tengah situasi yang sangat kacau akibat penjajahan, dimana kelaparan akibat pemiskinan dari penjajah menjadi tantangan utamanya. Karena itu tidak heran, jika banyak kita temukan saudara-saudara kita bersedia menjadi kaki tangan belanda hanya untuk mendapatkan “sepotong” keju.
    Ahmad Baso dalam pemaparannya saat memberikan kuliah umum pada PPS Instika menceritkan bahwa pesantren menjadi jantung peradaban indonesia. Mereka bukanlah konsumen peradaban sebagaimana banyak dituduhkan kalangan oreintalis, tapi sebaliknya merekalah pencipta peradaban itu sendiri. Pimpinan gerilyawan sekaliber bapak Soedirman, soekarno, dan banyak tokoh pejuang lainnya sangat mengakui kualitas kelimuan kiai. Mereka pun senantiasa mohon petunjuk pada kiai dalam setiap akan melakukan gerilya.
    Bahkan dr. Soetomo yang dikenal sebagai tokoh nasionalis menegaskan bahwa sistem pendidikan yang pas untuk dijadikan percontohan pendidikan di Indonesia tiada lain kecuali sistem pendidikan pesantren. Sebab pesantren tidak hanya mengajarkan keilmuan, tapi juga menanamkan “karakter” agar anak didik tidak hanya cerdas dari segi intlektual, tapi juga cerdas secara spiritualitas dan tindakan. Sementara sistem pendidikan ala belanda hanyalah melahirkan kader-kader “robot” yang siap mengabdi pada belanda. Bahkan, Taman siswa yang digagas oleh K. Hajar Dewantara, yang sampai saat ini diakui sebagai gerakan awal kebangkitan pendidikan menurutnya juga mengadopsi sistem pendidikan pesantren yang diyakini mampu memberikan pendidikan secara utuh.
    Hanya saja, pada perkembangan selanjutnya pesantren mulai diperlakukan dengan tidak adil. Adanya beberapa perguruan tinggi keislaman yang awalnya di komandani oleh kiai-kiai asal pesantren, mulai digeser hanya karena mereka tidak memiliki gelar akademik setingkat master maupun doktor. Padahal kualitas keilmuan mereka jauh lebih matang dari pada mereka yang mendapatkan ilmu dari dunia barat, yang konstruk keilmuannya memang bertujuan “menghegemoni” peradaban diluar komunitasnya.
    Sejak saat itu, secara perlahan peran pesantren mulai “dilumpuhkan” baik dari segi pendidikan maupun politik kepemerintahan. Mereka hanya diberi wewenang mengurusi persoalan agama saja, padahal antara urusan agama dengan realitas kehidupan nyata tak dapat dipisahkan.
    Tidak hanya itu, ketika pesantren mencoba menggagas lembaga pendidikan yang lebih baik, mereka juga mendapat tekanan dengan berbagai aturan kurikulum yang kaku. Namun demikian, pesantren tidak pernah menyerah. Mereka terus melalukan inovasi dan perbaikan-perbaikan agar keberadaannya tetap bermanfaat ditengah-tengah masyarakat.
    Ternyata, pesantren sekali lagi menunjukkan kejayannya. Semakin pesantren mendapatkan tekanan, dan dipandang sebelah mata, Justru kajian tentang konstruk pendidikan pesantren terus mendapatkan perhatian serius dari berbagai kalangan. Dan dari berbagai kajian tersebut, decak kekaguman terhadap pendidikan pesantren terus bermunculan. Akhirnya, secara “malu-malu” sistem pendidikan pesantren mulai diadopsi dengan sembunyi-sembunyi oleh berbagai pihak yang dulu “menghina” pendidikan pesantren dengan istilah “kejumudan, tidak maju, katrok, amburadul” dan beberapa kalimat tak sedap lainnya.
    Hal ini kiranya dapat kita lihat dengan adanya beberapa lembaga pendidian formal yang mengadakan program full day school, bimbingan khusus, pengasramaan, yang semua itu telah lama dipraktekkan oleh pesantren.
    Saati ini, sepertinya pesantren mulai mendapatkan simpati dari berbagai kalangan. Sehingga ada opsi dari berbagai kalangan, bahwa jika indonesia ingin meraih kejayannya maka harus kembali pada sistem pendidikan pesantren. Sebab, konsep pendidikan sekuler telah nyata-nyata gagal melahirkan kader terbaik di negeri ini. Secara kecerdasan intlektual memang nampak hasil yang cemerlang, tapi secara ideologis dan spiritualitas mereka amat kering. Sehingga tidak heran, bila kita seringkali menemukan seorang doktor maupun profesor ternama tersandung kasus korupsi.
    Adanya kepercayaan dari kemenag bagi Instika untuk membuka program pascasarjana prodi PAI dengan konsentrasi kajian pendidikan pesantren tentu merupakan angin segar bagi perkembangan iklim pendidikan pesantren. Dari kajian inilah nanti diharapkan adanya temuan baru mengenai “keunggulan” pendidikan pesantren.
    Memang ini merupakan tantangan yang berat. Sebab tidak mudah memperbaiki sebuah kondisi setelah keadaan kita hampir rata dengan tanah. “kalian adalah as-shabiqunal awwalun, yang merupakan calon-calon kader terbaik dalam kajian kepesantrenan ini” itulah salah satu kalimat motivasi yang disampaikan Ahmad Baso disela-sela penyajiannya.
    Adanya PPS Instika dengan konsentrasi kajian pendidikan pesantren merupakan pintu masuk untuk mengembalikan pesantren sebagai jantung perdaban di Indonesia. Dari pendidikan pesantrenlah, yang memang sesuai dengan karakter keindonesiaan, nantinya akan dilahirkan sosok pemimpin sejati yang tidak hanya cerdas secara intlektual tapi juga cerdas secara spititual dan tindakan. Sehingga semakin cerdas eorang itu, maka dia semakin baik dalam bertindak.
    Karena itu, keberadaan pps ini sangatlah strategis untuk membangkitkan pendidikan pesantren sebagai basis peradaban di Indonesia. Inilah cara terbaik utuk merebut kejayaan indonesia yang selama ini dikendalikan bangsa asing.


    Kota Batu Malang, 08 Oktober 2013

    Meningkatkan Mutu, Mempertahankan Karakter

    Meningkatkan Mutu, Mempertahankan Karakter

    Posted by Abd. Warits Ilham  |  at  11.49

    Belajar dari Ibu Mardiyah,

    Banyak orang berfikir, bahwa meningkatkan mutu beriringan dengan jumlah uang yang digelontorkan. Pikiran itu tidak sepenuhnya benar, meski dengan adanya dana yang melimpah kesempatan untuk meningkatkan pelayanan dan kualitas sebuah lembaga bisa lebih maksimal. Hanya saja, banyaknya jumlah dana yang tersedia tak akan berdampak apa-apa tampa diikuti dengan adanya seoang pemimpin yang tegas, inovatif dan kreatif.
    Hari ini merupakan minggu kedua saya kuliah di Uin Malang. Tak sedikit pencerahan yang sudah saya dapatkan baik yang berkaitan dengan cara berfikir, cara menganalisis persoalan, maupun cara berkesimpulan.
    Hari ini saya mengikuti mata kuliah Manajemen Mutu Pendidikan Islam yang diampu Ibu Mardiyah. Awalnya aku tidak begitu semangat mengikuti perkuliahan ini, sebab sedang sakit perut. Entah mengapa, sejak pertama kali di Malang, sakit perut menjadi langganan saya di pagi hari.
    Tapi, mendengar kalimat pembuka dari Ibu Mardiyah, saya sudah mulai merasakan bahwa materi kali ini akan sangat menarik. Beliau mengawalai dengan mempertanyakan pengertian tentang mutu. “Apa sih mutu”begitulah beliau menyampaikan pertanyaannya pada mahasiswa.
    Sebelum ada mahasiswa yang menjawab, Ibu Mardiyah bercerita tentang pengalamannya melakukan penelitian di tiga pesantren besar dengan ciri khas dan karakter sendiri. Beberapa pesantren itu antara lain: Gontor, yang dikenal sebagai pondok Modern, Ponpes Lirboyo sebagai pesantren Salaf dan Pesantren Tebuireng Jombang yang mewakili pesantren salaf tapi mengadopsi sistem modern.
    Ketiga pesantren tesebut besar dengan ciri khas masing-masing, Gontor misalnya dikenal banyak melahirkan alumni yang hebat dalam berbahasa arab, dan juga banyak melahirkan pemimpin bangsa. Sementara Lirboyo terkenal dengan santrinya yang menguasai Ilmu Nahwu dan tata bahasa Arab. Sedangkan Tebuireng, pesantren yang dibesarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari, seorang ulama yang turut membidani lahirnya Nahdlatul Ulama, dikenal sebagai sosok yang kharismatik dan keilmuannya yang sangat mumpuni hingga KH. Khalil Bangkalan turut berguru pada beliau dalam hal Ilmu Hadits.
    Uniknya, kedua pesantren di atas, Gontor dan Lirboyo sama-sama tidak mengadopsi kurikulum nasional dan tidak mengikuti Ujian Nasional. Namun begitu, santri yang berdatangan untuk belajar di kedua pesantren tersebut di atas tak juga berkurang.  Melalui mendekatan kajian Feminologis, Ibu Mardiyah mencoba menganalisis ketiga pesantren tersebut dari sudut pandang “mempertahankan” mutu pendidikan pesantren. Begitulah yang sempat saya tangkap dari diskusi yang berlangsung selama kurang lebih dua jam tersebut.
    Dari pemaparan tersebut, dapat saya tangkap bahwa mempertahankan mutu tak ubahanya dengan mempertahankan karakter dan ciri khas yang melekat pada sebuah lembaga, dan hal ini sudah dimulai oleh para ulama kita terdahulu. Ada ribuan pesantren yang usianya sudah ratusan tahun, dengan ciri khas dan karakter tersendiri, mulai dari persoalan sastra dan gramatikan bahasa, kajian Hadits, al-Qur’an dan Fiqh bahkan kajian ilmu politik juga tak luput dari perhatian pesantren.
    Karena itu, bila kita merujuk pada analisis Ahmad Baso dalam buku Pesantren Studies, tidak tepat saya kira bila kita “mengakui”bahwa SDM masyarakat kita lemah. Adanya sejumlah pesantren dengan berbagai konsentrasi kajiannya cukup membuktikan bahwa masyarakat kita cukup berdaya secara intlektual.
    Hanya saja, dengan “kelicikan” beberapa peneliti barat yang serta merta “memecah-belah”keilmuan pesantren dan memberikan “standart” keilmuan semau mareka, bahkan “mecuri” beberapa kitab hasil pemikiran cendekiawan kita, mereka pun dengan sukses “memaksa” kita mengakui bahwa kita “bodoh” dan bila ingin “pintar” harus meniru gaya berfikir orang-orang barat.
    Memang harus kita akui, ada banyak kekurangan yang terdapat pada masyarakat kita, tapi bukan berarti mereka adalah orang bodoh dan sama sekali tidak mampu berfikir. Kalau kita mau, ada banyak keilmuan masyarakat yang patut kita teladani. Cobalah kita datangi mereka, dan belajar bagaimana mereka menggerakkan tradisi, bagaimana cara mereka bersikap, maka kita akan menemukan banyak hal yang selama ini tidak kita ketahui. Kita pun akan menemukan bahwa masyarakat kita sangat kaya dengan “filosofi” dalam setiap aktivitas yang mereka jalani.
    Hanya saja, mereka tidak mampu menyampaikan ilmu mereka melalui tulisan dalam sebuah jurnal. Yang mereka lakukan hanyalah mewariskan pada anak dan cucu-cucunya, itupun sudah banyak yang mulai antipati.
    Adanya ketiga pesantren yang diteliti oleh Ibu Mardiyah dan ketiga-tiganya tetap eksis dalam mempertahankan karakter dan ciri khasnya, bahkan terus berkembang meski “sistem pembelajarannya” tidak mengikuti selera dan “kemauan pasar” cukup menyentak pikiran saya.
    Ditengah-tengah zaman global yang penuh daya saing ini, tak ada pilihan lain jika kita ingin tetap eksis dan berkembang, yaitu mempertahankan ciri khas dan menampakkan karakter adalah salah satu jalan utama yang harus kita lakukan.

    Mutu dan Semangat Memprotek Diri
    “Mengikuti selera pasar, maupun tidak sama sekali itu tidak jadi persoalan. Asal kita tetap mampu mempertahankan dan menunjukkan karakter berikut ciri khas kita”

    Itulah kesimpulan yang dapat saya rumuskan dari perkuliahan siang ini, ketika teman-teman mendiskusikan lebih lanjut tentang mutu sebuah lembaga pendidikan. Sebab, banyak masyarakat beranggapan semakin mahal dan semakin update sistem pembelajaran sebuah lembaga itu artinya mutu lembaga tersebut akan semakin terjamin.
    Memang, nilai dan karakter yang telah melekat itulah yang menjadi tolok ukur sebuah “mutu” baik tidak sebuah lembaga pendidikan. Ketiga pesantren yang disebutkan di atas tersebut mampu bertahan bahkan berkembang dengan pesat karena mampu mempertahankan “nilai-nilai kesantrian” yang selama ini diyakini dan dikembangkan oleh para pendahulunya.
    Bahkan menurut penuturan Ibu Mariyah, tidak sedikit pesatren yang dulunya menjadi rujuakan masyarakat indonesia saat ini tenggelam dan merosot tajam, hanya karena tidak “tegas” mempertahankan nilai-nilai kesantrian yang dulu sempat dibangun oleh sang kiai.
    Karena itu, mengikuti perkembangan zaman atau tidak sama sekali, itu bukanlah “titik” paling penting dalam mempertahankan dan meningkatkan mutu sebuah lembaga pendidikan. Yang paling penting adalah menunjukkan karakter dan ciri khas yang kita miliki. Meski tentunya, mengikuti perkembangan zaman namun tetap eksis mempertahankan karakter dan ciri khas kita itu tetap lebih baik dan akan semakin banyak diminati banyak orang.

    Malang, Kota Batu 19 September2013

    Tersingkir sejak dalam Kandungan

    Tersingkir sejak dalam Kandungan

    Posted by Abd. Warits Ilham  |  at  14.35


    Saat ini tepat usia 22 minggu kandungan istri saya, secara teori anatomi calon anak saya sudah bisa keliatan secara maksimal melalaui pemeriksaan USG. Karena itu, beberapa malam yang lalu atas inisiatif istri, dan dengan perasan campur aduk akhirnya kita mendatangi RSB Estho Ebhu untuk melakukan pemeriksaan itu.
    Saya tidak tahu apakah keputusan itu tepat atau tidak, saya pun tidak paham apa motivasi terdalam kami untuk melakukan USG. Hanya saja kebetulan malam itu kita lewat depan Esto Ebhu dan langsung terlintas pikiran untuk USG kita pun langsung masuk aja.
    Setelah menunggu beberapa puluh menit, penantian panjang yang juga membuat istri saya kelaparan sampai mengeluarkan keringat dingin, sebab tak kuat menahan rasa lapar yang begitu kuat; katanya itu bawaan bayi yang memang tidak bisa menahan lapar, tiba juga giliran kami diperiksa. Jujur saat itu ada perasaan kawatir jika nantinya dokter mengatakan bahwa calon anak saya tidak sehat.
    Jika masih bisa mundur, mending ditunda aja USG-nya. Tapi melihat istri yang begitu antusiasnya untuk melakukan USG saya pun tak bisa menghalanginya. Keinginanya yang begitu kuat untuk melihat calon bayi yang sedang ia kandung akhirnya meluluhkan beberapa kekawatiran yang sempat menghinggapi perasaan saya malam itu.
    Untung atau malang, ternyata alat USG 3D yang selama ini menjadi andalan RSB Estho Ebhu sedang mengalami gangguan sehingga tidak bisa dioprasikan. Dan pemeriksaan kali ini hanya menggunakan USG 2D, hingga gambar yang di tampilkan tidak begitu detail. Tapi meski begitu masih bisa digunakan untuk mendeteksi anatomi tubuh bayi dalam kandungan seseorang.
    Dengan perasaan yang tak menentu, kami menunggu analisis dokter Ibnu, pemilik sekaligus dokter kandungan utama di RSB tersebut. Alhamdulillah, berdasarkan hasil USG tersebut tidak ada kelainan apa pun terhadap anak saya tersebut. Puji syukur pun terlontar tanpa perlu diminta, ada perasaan lega yang perlahan menyusup dalam pikiran dan bermuara dalam hati menjadi ketenangan. Saya merasa bahwa rahmat dan kasih sayang Tuhan begitu nyata dalam kehidupan ini.
    Pemeriksaan berlanjut untuk menguatkan hasil analisis sebelumnya, dan hasilnya tidak ada perbedaan. Hanya saja, ketika kami menanyakan jenis kelamin anak kami, dr Ibnu belum bisa memastikan. Selain keadaan bayi dalam keadaan fase tidur hingga ia tidak bergerak, alat 2D memang tidak bisa memberikan penilaian maksimaldalam menentukan jenis kelamin. dr Ibnu berjanji akan segera menghubungi kami saat alat USG 3D-nya bisa dioperasikan. Akhirnya dengan perasaan lega; meski masih penasaran dengan jenis kelamin anak kami, akhirnya kami bertolak dari RSB Esto Ebhu.

    Laki-laki dan Harapan Keluarga
    Bagi saya, jenis kelamin apa pun nantinya anak kami tidak ada masalah. Sebab ia tetap merupakan titipan Ilahi untuk kita didik, kita latih menjadi seorang hamba yang berbakti terhadap agama dan bangsanya. Menjadi sosok yang mampu memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Laki-laki atau perempuan, orang tua tetap berkewajiban memberikan perhatian dan kasih sayang yang sama bagi keduanya.
    Tapi rupanya bagi  kedua orang tua kami, hal itu bukanlah persoalan sederhana. Adanya persepsi bahwa laki-laki adalah pelindung bagi perempuan cukup memberikan pengaruh bagi mereka. Ini kami simpulkan dari tanggapan mereka saat menanyakan hasil pemerikasaan USG yang kami lakukan. “ye dhina mun gi’ tak etemu, mandher lalake’a bhei” ujar mereka penuh harap (semoga anaknya laki-laki).
    Awalnya, saya menanggapi dengan santai ungkapan tersebut. Tapi rupanya tidak dengan istri saya. Ia mulai kawatir jika kelak anak kami lahir berjenis kelamin perempuan lalu menjadi orang yang “tersisihkan” dalam keluarga besar kami. Apalagi beberapa ponaan dan cucu yang dilahirkan dalam keluarga kami beberapa waktu lalu semua berjenis kelamin laki-laki.
    Kekawatiran itu semakin mencuat ketika keesokan harinya pihak RSB Estho Ibhu menelpon kami guna mengabarkan bahwa USG 3D sudah bisa dioperasikan dengan baik. Maka pada malam itu juga, tepat jam 20.00 Wib kami menuju RSB untuk kembali melakukan USG.
    Hasil pemeriksaan tidak jauh berbeda, bahkan dari analisis sementara sangat dimungkinkan istri saya bisa melahirkan secara normal. Saya semakin semangat untuk terus berdoa agar ia diberikan kemudahan dalam proses kelahirannya nanti.
    Diakhir pemeriksaan, kami kembali menanyakan  jenis kelamin anak kami. Sayangnya meski kali ini menggunakan alat yang lebih canggih, tapi jenis kelamin anak kami belum bisa terekam dengan baik sebab terhalang tali pusat di perutnya. “Namun sepertinya anak kalian perempuan, hanya saja saya tidak berani memastikan” ungkap lirih dr Ibnu sambil berusaha mencari celah untuk melihat dengan jelas jenis kelamin anak kami tersebut lebih detail. Tak ada ekspresi apa pun dalam benak saya mendengar kabar itu, sebab bagi saya jenis kelamin itu tidak penting. Yang terpenting adalah anak kami yang masih dalam kandungan itu bisa lahir dengan selamat, sehat dan sempurna tampa kekurangan apa pun.

    Kekawatiran yang mulai Mengganggu
    Sesampainya dirumah, kami mulai diberondong dengan pertanyaan mengenai kepastian tentang jenis kelamin. Kami ceritakan bahwa analisa sementara kemungkinan perempuan, meski belum ada kepastian karena terhalang dengan tali pusatnya.
    Rupanya kabar ini cukup memberikan “sedikit” kekecewaan bagi kedua orang tua kami. Saat itulah saya baru sadar bahwa mereka menginginkan cucu yang pertama lahir ditengah-tengah kami adalah laki-laki. Pertimbangan mereka memang cukup jelas, dengan lahirnya anak pertama berjenis kelamin laki-laki akan sedikit menghemat pembiayaan. Sebab kata mereka, dengan lahirnya anak laki-laki ia tidak perlu memakai giwang, gelang dan cincin dari emas.
    Selain itu memang, ada salah satu tradisi masyarakat madura yang berlaku bagi anak perempuan, yaitu pernikahan dini. Bagi anak perempuan, pernikahan menjadi sesuatu yang vital. Jika sampai lulus S1 tapi belum menemukan jodoh juga, maka ia akan menjadi perbincangan. Bahkan di beberapa desa, lulus MA/SMA saja tapi tidak ada yang melamar sudah akan menjadi pergunjingan masayarakat sebagai perawan yang tidak laku. Dan tradisi pertunangan apalagi pernikahan tidak pernah mengenal kata sederhana bagi masyarakat Madura. Jutaan rupiah akan pasti dihabiskan untuk mengadakan “slametan” atau peresmian sebuah ikatan diantara kegua keluarga tersebut. Awalnya kami menganggap bahwa kekawatiran kedua orang tua kami jika kelak lahir anak pertama perempuan adalah di pernikah dini tersebut. Tapi ternyata tidak sesederhana itu.
    Pertimbangan mereka memang masuk akal, sebab saat ini saya sedang kuliah pasca di UIN Malang dan itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit, apalagi dengan kondisi kesibukan saya yang mengharuskan bolak-balik Madura-Malang setiap minggu. Namun sepertinya itu hanya salah satu faktor saja, sementara faktor utama tetap menjadi bagian dari bias Gender yang beranggapan bahwa laki-laki lebih baik dari perempuan yang selama ini masih diyakini oleh sebagian mayoritas masyarakat. Kelahiran anak laki-laki sebagai anak pertama akan membawa kebanggaan tersendiri bagi sebuah keluarga.
    Menghadapi kenyataan ini, saya mulai berpikir ulang tentang kehidupan perempuan yang selama ini senantiasa tersisih hampir dalam semua lini kehidupannya. Keberadaan mereka tak ubahnya sebagai pelengkap saja, dan harus senantiasa bersiap diri menjadi golongan kedua. Bahkan untuk menjadi bagian dari sebuah keluarga pun, ia harus rela lahir sebagai anak kedua.
    Saya tidak tahu pasti bagaimana pikiran itu “mengendap” di tengah-tengah masyarakat, utamanya di Madura. Yang jelas, begitu banyak calon ibu, ayah dan juga kakek-nenek yang mengharapkan cucu pertamanya lahir dengan jenis kelamin laki-laki. Padahal, jenis kelamin tersebut tak bisa direkayasa. Ia ibarat pohon buah yang hanya bisa kita tanam, tapi tidak bisa kita tentukan dapat berbuah lebat atau tidak. Kita tak pernah bisa memilih mau lahir sebagai perempuan atau laki, pun megenai urutan dan waktu kelahiran kita dalam dunia ini.
    Situasi ini mulai menghawatirkan saya, bukan takut anak saya kelak akan kekurangan perhatian. Tapi justru kawatir terhadap masa depan nasib kaum perempuan. Jika sejak dalam kandungan saja mereka mulai tersisihkan, dan selalu diharapkan lahir sebagai anak kedua, lalu bagaimana dalam proses kehidupan nyata? Bisakah mereka tampil dan berkreasi secara bebas sebagaimana lelaki? Bisakah mereka tampil sebagai pemimpin yang dihargai dan dihormati layaknya lelaki? Atau selamanaya mereka harus selalu siap menjadi golongan kedua.
    Menghadapi situasi ini, saya tidak bisa berbuat banyak. Kecuali berkomitmen untuk tidak pernah membedakan perhatian dan kasih sayang bagi anak perempuan maupun lelaki. Mereka harus bisa saya antarkan untuk meraih impian dan cita-cita sesuai dengan potensi yang mereka miliki. Saya tidak akan menjadikan anak saya; jika kelak lahir sebagai perempuan, seorang laki-laki yang harus tegar, kuat, dan tegap. Saya akan menjadikan ia sebagai anak perempuan manja, riang, cerdas dan kreatif. Perempuan yang hebat dengan kreativitas dan keilmuannya, perempuan yang manja tapi cerdas merumuskan solusi untuk setiap persoalan, perempuan yang tangguh tapi tetap menghormati laki-laki sebagai suaminya, perempuan yang hebat tapi tak perlu “menaklukkan” laki-laki.
    Jangan pernah kawatir bidadari kecilku, berproseslah dengan matang dalam kandungan ibumu, pahamilah bahasa Tuhan yang sedang kau dengarkan tiap waktu. Kelahiranmu akan selalu ayah tunggu, dengan tangan lebar dan senyum kebahagian. Tak akan pernah aku biarkan kau “menderita” hanya karena engkau perempuan.


    Malang, Kota Batu 17 September 2013

    Kopi, Tambhul, dan Bherkat

    Kopi, Tambhul, dan Bherkat

    Posted by Abd. Warits Ilham  |  at  10.44




    Setiap kali ada acara selametan atau hajatan tertentu (masyarakat madura biasa menyebutnya Karjheh atau Onjengan), bagi masyarakat madura menyajikan Kopi, Tambhul, dan Bherkat merupakan menu wajib yang harus disajikan. Tanpa ketiganya, semeriah apa pun acara itu, nampak suasana hajatan kurang sempurna dan tidak hikmat.
    Secara umum, setiap orang yang menghadiri Onjhengan mendapatkan beberapa hidangan antara lain: Kopi, Rokok, dan Tambhul; sebagai sajian pembuka, kemudian Nasi lengkap dengan lauknya; sebagai sajian inti, lalu diakhiri dengan sajian penutup berupa Es Podheng dan Bherkat yang biasa dibawa pulang sebagai oleh-oleh bagi keluarga dirumah.
    Semua hidangan tersebut, memiliki cara tersendiri dalam menghidangkannya. Untuk menghidangkan kopi, setiap tamu dipersilahkan memilih tempat duduk dulu berdasarkan petunjuk penerima tamu, baru kemudian petugas penghidang kopi dengan cara bersimpuh di depan tamu tersebut lalu memberinya secangkir kopi. Berturut-turut setelah itu, petugas rokok datang menghampiri tamu yang baru saja mendapatkan kopi lalu dilanjutkan oleh petugas penyajian tambhul untuk diselipkan pada sisi cangkir kopi milik tamu tersebut.
    Masa kecil saya dulu, saya selalu merasa senang ketika tahu bahwa kakek sedang kaonjhengan. Saya pun rela tidur lebih malam, meski mata sudah sangat mengantuk, hanya untuk melihat isi bherkat yang beliau bawa pulang. Meski isinya sudah dapat saya tebak, misalnya berisi: nasi bersama beberapa potong masakan daging sapi, ayam atau kambing lengkap dengan kuah kuningnya, terkadang juga ada telor matang, dan beberapa jenis jajanan desa sebagai pelengkap isi menu bherkat tersebut. Rasanya, Nasi dalam bherkat itu cita rasanya terasa lebih nikmat dan sedap ketimbang nasi yang setiap hari kami makan di rumah. Padahal saya meyakini tidak ada yang berbeda dalam hal itu.
    “Bherkat rea benni kakanan bhensaromben, lha mare epangaji’i, mare abecaen pattehah, mare ebecaen shalawat, deddi sapa’a bheih oreng se ngakan bherkat odhi’na bhekal ngaolle kabherkathen dheri pangeran, bhen odhi’na bhekal samporna” (Bherkat bukanlah menu makanan sembarangan, makanan tersebut sudah dibacakan fatihah, dan shalawat, karena itu siapapun yang makan isi menu dalam Bherkat kehidupannya akan mendapat keberkahan dari Tuhan berupa kehidupan yang sempurna) itulah penjelasana kakek yang selalu saya degan setiap kali menikmati bherkat yang beliau bawa pulang.
    Dulu, saya hanya manggut-maggut saja mendengarkan petuah kakek itu, saya pun berkeyakinan akan kebenaran kalimat sederhana tersebut, tanpa sedikit pun bertanya bagaimana bisa, hanya dengan memakan bherkat lalu orang itu akan mendapatkan kesempurnaan dalam hidupnya.
    Baru setelah saya membaca karya Agus Musthafa dan mendengar pidato ilmiah Harun Nasution saya pun paham, bahwa ada perbedaan struktur makanan antara yang dibacakan shalawat atau ayat al-qur’an dengan makanan yang tidak dibacakan syalawat dan al-qur’an. Dijelaskan, bahwa makanan yang dibacakan ayat al-qur’an terhindar dari energi negatif yang memang selalu melingkupi kehidupan ini. Mungkin ini pula lah, salah satu alasan mengapa setiap kali hendak makan, manusia diwajibkan membaca basmalah.

    Pangong-ngangan Madura, 17 April 2013
    Salam Pangestoh

    Catatan:
    Tambhul      : semacam kue khas masyarakat madura, biasa siajikan bersamaan dengan kopi
    Bherkat       :  oleh-oleh yang dibungkus plastik untuk dibawa pulang oleh setiap orang yang menghadiri onjhengan, didalamnya terdapat nasi lengkap dengan lauk, juga beberapa kue yang di jadikan Tambhul.
    Onjhengan   :   sebutan untuk hajatan tertentu di masyarakat madura.
    Es Podheng  :  minuman dingin racikan dari beberapa buah-buahan, semisal semangka, melon, atau dan adonan agar-agar.         



    Saat Rasa “Iba” Mulai Luntur

    Saat Rasa “Iba” Mulai Luntur

    Posted by Abd. Warits Ilham  |  at  10.43




    Senja baru saja rebah di ufuk barat, semilir angin menari pelan menyuguhkan aroma tanah yang baru saja membasah diguyur hujan. Sesekali kilat menyambar, menandakan bawah awan gelap masih tersisa di tengah-tengah birunya langit.
    Adzan maghrib berkumandang saat saya memasukkan motor ke halaman rumah yang masih tumpah ruah dengan sisa-sisa air hujan. Rasanya, saat ini saya merasa begitu letih setelah seharian penuh menjalankan rutinitas di Kampus, apalagi sepanjang perjalanan Guluk-Guluk ke Gapura tak hentinya diguyur gerimis.
    Setelah memarkir motor, lalu membuka jaket dan helm saya pun bergegas menuju dapur, setelah terlebih dulu meletakkan tas di emperan rumah. Saya ingin membasuh wajah yang kuyup ini dengan air hangat, rasanya itu akan sangat membantu menyegarkan kembali tubuh yang penat.
    Suasana rumah tampak sepih, ini agak ganjil. Sebab biasanya sore menjelang maghrib ada banyak tetangga maupun keluarga lainnya berkumpul di rumah, tapi hari ini hanya “si neng” (kucing kesayangan saya) yang menyambut kedatagan saya di pintu dapur. Saya tidak menggubris “keongannya” karena wajah saya terasa lengket dengan sisa-sisa air hujan tadi.
    Sayangnya tidak sedikitpun air panas yang saya dapatkan di dapur, semuanya kosong. Dengan langkah lelah, saya menuju kamar mandi untuk membasuh wajah, agar sedikit mendapat kesegaran.
    Baru keluar dari kamar mandi, saya mendapatkan ibu saya berjalan gontai dari arah barat, tampa saya minta dia menceritakan kondisi salah tetangga saya, sebut saja imah, yang sedang tertidur kesakitan
    “loh, bukannya tadi pagi dia masih sibuk menjemur padi” tanya saya keheranan
    “sakitnya mendadak, sepertinya taon1 , sekarang sedang di pijak sama bhe’2 sunni-nya” ujarnya
    “sekarang bagaimana keadaannya”
    “masih kesakitan”

    Lalu saya bergegas menjenguknya, rupanya semua tetangga sedang berkumpul disana, begitu pun dengan keluarga saya yang lain. Mbak ima, begitu saya memanggilnya masih mengerah kesakitan. Kedua tangannya dipegangi agar bisa membantunya menahan sakit akibat pijatan itu. Proses pemijatan telah sampai disekitar perut bagian bawahnya, kata sebagian tetangga yang sedang berbincang, proses pemijatan itu harus selesai hingga ujung kaki, agar “penyakitnya” turun dan keluar dari ujung kaki. Karena bila penyakit itu sampai di ubun-ubun penderita bisa mengalami kematian.
    Setelah sekitar 15 menit dipijat, keadaannya tampak membaik. Meski air mukanya masih menyiratkan sedang menahan sakit. Sejenak saya perhatikan ia tampak begitu lelah, wajahnya pucat dan nafasnya tersenggal-senggal. Saya tak sanggup membayangkan bagaiama rasa sakitnya.
    Gelap mulai pekat pertanda malam mulai larut. Setelah selesai shalat maghrib saya kembali menjenguk mbak Ima, rupanya penyakitnya kambuh lagi. Kali ini lebih parah, bahkan beberapa kali ia mengerang lebih keras karena menahan sakit. Bahkan katanya, mbak Ima sempat tidak sadarkan diri.
    Akhirnya setelah beberapa menit keadaan Mbak Ima masih belum juga membaik, pihak keluarga memutuskan untuk dibawa rumah sakit, awalnya akan dibawa ke puskesmas saja, sebab bila dirwat ke RSUD dr. Soetomo Sumenep tentu biayanya akan sangat mahal. Apalagi mbak Ima bukanlah orang berada, suaminya tidak mempunyai kerja tetap, ia hanya memelihara beberapa jenis burung dan ayam yang selama ini dijadikannya sumber penghidupan.
    Namun tiba-tiba, sebuah teriakan nyaring terengar, rupanya Mbak Ima kembali tak sadarkan diri. Orang-orang mulai panik, untungnya bersamaan dengan itu mobil pick up yang akan membawanya ke puskesmas datang. Awalnya beberapa orang tampak ragu, kawatir Mbak Ima tak mampu bertahan dalam perjalanan, namun suami mbak Ima meyakinkan bahwa dia harus dibawa ke rumah sakit.
    Melihat kondisi mbak ima yang semakin lemah, akhirnya diputuskan agar ia dibawa ke RSUD saja. Sebab ketika sampai di puskesmas, tentunya akan dirujuk ke RSUD juga. Semua pihak pun sepakat, membawa mbak ima ke RSUD. Apalagi mbak ima punya kartu Jamkesmas, tentu akan membantu meringankan biaya pengobatannya.
    Begitulah kehidupan di desa, sekecil apapun masalahnya harus dibicarakan pada semua tantaretan. Jika tidak, pihak yang tidak diikut sertakan berembuk akan tersinggung. Memang kehidupan desa memiliki keunikan tersendiri.
    Perjalanan menuju RSUD yang berjarak kurang lebih 17 KM terasa sangat lama, padahal dalam waktu normal hanya butuh waktu sekitar 25 menit. Tapi perjalanan kali ini rasanya sudah berjam-jam. Lantunan kalimat istighfar dan shalawat tak henti-hentinya terdengar, memohon pada Tuhan agar mbak Ima diberikan kekuatan untuk bertahan dan mendapatkan kesembuhan.
    Setibanya di RSUD, mbak ima langsung dilarikan ke UGD. Dia pun langsung mendapatkan perawatan intensif, sementara saya sedang mengurus adiministrasinya di loket. Alhamdulillah tidak ada hambatan dalam proses registrasinya sebagaimana yang saya kawatirkan.
    Setelah registrasi, saya beranjak menuju UGD. Mbak ima sudah mulai sadar, namun keadaannya belum berubah.
    “Keluarga ny. Ima” terdengar panggilan seorang perawat
    Istri saya segera menghampiri panggilan itu, rupanya resep obat yang harus ditebus sudah selesai di susun. Kami pun segera berlarian menuju apotik yang terletak di penghujung barat kompleks rumah sakit untuk menebus obat, sialnya ada sekitar tujuh orang yang sedang antri. Keadaan ini sedikit menggelisahkan. Namun kami tidak punya pilihan lain, menuju apotik lain tentu akan menghabiskan waktu lebih banyak.
    Tampa terasa 15 menit berlalu. Mbak ima sudah dipindahkan ke ruang rawat kandunga. Rupanya dari hasil pemeriksaan sementara, dia dinyatakan hamil diluar kandungan. Saya lihat keadaannya semakin lemah, dia tidak hentinya mengerang kesakitan. “Innalillah, saya benar-benar tidak menyangka ia mengalami penderitaan itu” guma saya dalam hati.

    Kami pun diminta lekas ke PMI untuk mendapatkan darah, sebab Mbak Ima mulai mengalami pendarahan. Tampa menunggu lebih lama, saya bersama istri segera menuju PMI. Sesamapainya disana, saya mulai menyerahkan sampel darah dan surat pengantar dari rumah sakit. hasil tes dasarahnya menunjukkan bahwa golongan darahnya B. Namun dengan santainya petugas PMI bilang stok darah sedang habis, kami diminta untuk mendatangkan keluarga lainnya agar bisa diambil darahnya.


    Kami pun mulai mengontak orang-orang yang memiliki ikatan darah dengan mbak ima, namun ternyata tak ada satupun dari mereka yang bersedia. Mereka beralasan takut, entah takut seperti apa yang mereka kawatirkan. Dalam keadaan panik seperti itu, kami mulai menghubungi beberapa orang yang yang kami kenal memiliki golongan darah B.
    Setelah beberapa kali mendesak, akhirnya kami mendapatkan satu kantong darah dari PMII. Padahal waktu itu kami membutuhkan empat kantong darah. Namun apa boleh buat, darah bukanlah air yang dengan mudah bisa kami dapatkan.
    45 menit berlalu, belum ada satu pendonorpun yang kami dapatkan. Orang-orang terdekat masih juga enggan mendonorkan darahnya, bahkan untuk tes darah pun mereka enggan, padahal mereka tahu bahwa mbak Ima dalam keadaan sekarat.
    Hasil laboratorium sudah keluar. Dugaannya benar, mbak ima mengalami kehamilan diluar kandungan. Melihat kondisinya yang kian lemah, dokter jaga menyarankan agar mbak ima dirujuk ke RSUD Pamekasan, sebab butuh tindakan lebih intensif. Sementara disini (RSUD) dokter kandunganya sedang tidak ada, maklum hari itu adalah malam sabtu, katanya setiap sabtu hingga minggu dokter memang tidak ada. Dan mereka akan aktif kembali pada hari senin.
    Saya tidak mengerti dengan mikanisme seperti itu. Bagaimana kalau ada pasien yang butuh tingakan operasi, sementara dokter yang bersangkutan tidak ada? Apa ia harus menunggu hingga dua sampai tiga hari? Lalu bagaimana kalau keadaannya terus memburuk lalu berakibat kematian, siapa yang akan bertanggung jawab?
    Memang beberapa kali perawat menjelaskan bahwa anjuran merujuk ke RSUD pamekasan bukan karena ia pasien jamkesmas, tapi karena memang dokternya sedang tidak ada. Sementara kondisi mbak ima semakin menurun. Mau dipindahkan ke ICU, ruangnya sedang penuh. Karena minggu ini, pasien memang membeludak.
    Akhirnya dengan segala pertimbangan, akhirnya kami sepakat untuk merujuk mbak Ima ke RS Esto Ebu agar segera mendapatkan perawatan intensif. Memang biaya yang dibutuhkan akan jauh lebih banyak, sebab kartu Jamkesmas tidak berfungsi di rumah sakit swasta.
    Malam mulai semakin larut, jam sudah meniti angka 11 malam. Setibanya di Esto Ebhu mbak segera mendapatkan pemeriksaan intensif, bahkan dr.  Ipnu selaku pimpinan rumah sakit dan selaku dokter kandunga satu-satung di rumah sakit itu dibangunkan, sebab kondisi mbak ima memang benar-benar kritis. Malam itu juga, mereka memberitahukan bahwa mbak ima akan segera dioperasi, mereka minta tambahan darah menjadi 10 kantong.
    Kami kelimpungan, yang 4 kantong saja hanya dapat satu, sekarang kami harus mendapatkan 10 kantong darah. Kembali lagi mendesak beberapa keluarga terdekat agar mereka bersedia mendonorkan darahnya, tapi lagi-lagi hanya penolakan dengan alasan takut yang kami terima. Padahal mereka tahu, kondisi mbak ima sedang kritis dan besar kemungkinan; bila tidak segera ditangani, akan mengalami kematian.
    Untunya ada kak H (inisial) yang punya kenalan di PMI. 4 bulan lalu ibu mertuanya menjalai operasi tomur dan butuh darah hingga 12 kantong, dari kenalan itulah darah itu ia dapatkan. Saya bersama kak H langsung meluncur ke PMI, tak sadar bahwa sama sekali tidak pegang uang, namun urusan ini sudah sangat membuat kami kelipungan. Selain prihatin dengan kondisi mbak ima, juca kesal dengan sikap saudara-saudaranya yang enggan mendonorkan darahnya.
    Benar saja, sesampainya disana kami mendapati orang itu; sebut saja bapak SH, sanggup mendatangkan pendonor darah golongan B. dengan suara pelan dia berujar “tapi harganya beda ya pak, ya seperti biasa
    Kak H pun langsung menyanggupinya, namun untuk sementara Kak H minta 4 orang dulu, sebab belum pegang uang. Tapi keadaan ini sudah mendesak, tidak ada jalan lain yang bisa kami lakukan. Sejanak bapak SH mengambil handpone miliknya lalu menekan tombol call “butuh darah B 4 kantong, segera ya”, pembicaraan berakhir.
    Jujur saja saya sedikit tercengang, rupanya ditengah situasi yang makin amburadul ini, makin banyak saja orang yang “cerdas” mencari peluang bisnis. Dari paparan Kak H, saya tahu bahwa kami harus membayar sebsar Rp 150.000 untuk masing-masing pendonornya nanti, harga itu belum biaya cek fisik dan sarana lainya di PMI yang harganya kisaran 275.000 untuk tiap kantong.
    20 menit telah berlalu, pendonor yang tadi di telpon masih belum juga datang, mungkin masih dalam perjalanan atau masih sedang makan agar tidak limbung setelah mendonorkan darahnya. Maklum, ditengah malam yang selarut ini semua orang sudah pasti asyik dalam mimpinya masing-masing.
    Sementara itu, desakan agar darahnya segera datang terus bermunculan dari pihak RS Esto Ebhu, Untungnya setelah beberapa kali di desak, suami mbak ima yang awalnya juga ketakutan mulai pasrah dan bersedia mendonorkan darahnya, ini sangat melegakan. Saya pun yang diketahui oleh perawat jaga di PMI saat itu memiliki golongan darah B, diminta untuk ikut mendonor. Padahal baru 2 bulan yang lalu saya mendonorkan darah, tentu ini menyalahi standart keamanan keselamatan pendonor, yang menyebutkan hanya setiap tiga bulan sekali dalam setahun. Tapi karena keadaan mendesak, perawat jaga pun meyakinkan bahwa keadaan saya akan baik-baik saja. Akhirnya dengan perasaan pasrah dan tawakkal saya bersedia. Alhamdulillah semua berjalan lancar.
    Setelah itu, Kak H juga meminta istrinya untuk turut menyumbangkan darahnya, meski terlihat ketakutan, akhirnya juga bersedia. Keadaan ini sedikit menangkan kami. Sudah ada tiga kantong darah yang tersedia. Bersamaa dengan itu pula, dua orang pendonor datang. Artinya kami sudah memiliki 5 kantong darah, mungkin jumlah itu akan cukup hingga besok pagi.
    ****
    Tengah malam sudah lewat, jam telah menunjuk angka 2 pagi. Kami mulai bisa bernafas lega, kabar bahwa mbak ima telah selesai dioperasi benar-benar menenangkan kami. 5 kantong darah pun oleh perawat dirasa cukup untuk besok pagi. Rasanya kami memiliki waktu sejenak untuk istirahat. .

    Berselang 20 menit saya bersama kak H menemui bapak SH untuk mnyelesaikan “administrasinya” saya serahkan sejumlah uang sesuai dengan yang ia minta, tak lupa saya ucapkan terimakasih karena telah mengganggu istirahatnya.
    Beginilah memang nasib orang yang sedang terjepit. Apapun syarat yang diminta akan tetap dipenuhi, karena hal itu memang sistem yang sudah berjalan masif dan dianggap lumrah.
    Dalam tulisan ini saya tidak akan menyalahkan bapak SH yang meminta sejumlah jasa dalam “penyaluran” tenaganya menyediakan pendonor, sebab hal itu memang pantas ia dapatkan. Memang selayaknya kita memberikan tanda jasa bagi mereka yang bersedia “dikurangi” darahnya demi menyelamatkan orang lain.
    Yang saya sayangkan adalah “ketidaktersediaan” darah di PMI selaku penanggung jawab, semestinya mereka lebih giat lagi mencari pendonor agar darah senantiasa tersedia.
    Saya hanya berharap situasi tersebut bukan bagian dari sistem terencana oleh orang-orang tertentu . Saya masih mau berfikir positif bahwa adanya Bapak SH yang setiap malam bermalam di kantor PMI, murni demi membantu orang lain. Dan atas perannya itu, sudah selayaknya ia mendapatkan tanda jasa dari tenaga yang ia keluarkan itu.
    Suara Qiraat mulai berkumandang dari beberap masjid terdekat, setelah mengucapkan terimakasih kami pun beranjak menuju RS Esto Ebhu, rasanya malam ini kami telah melalui berbagai keadaan yang sulit. Semoga kondisi mbak Ima terus membaik.

    Pangong-ngangan, Madura 12 Mei 2013
    Mator Pangestoh

    Kisah ini terjadi beberapa bulan yang lalu, kini mbak Ima sudah bisa beraktivitas seperti sedia kala, saya menuliskan kisa ini agar ada sesobek catatan mengenai sisi lain dari “setetes darah anda dapat menyelamatkan nyawa orang lain

    Catatan:
    1.      Ta'on : Sebutan jenis penyakit di perut, kata tetua dusun orang yang sakit jenis ini bisa berakibat kematian bila darah yang beku tidak dikeluarkan
    2.         Bhe’   : bahasa madura (Obhe’) atau paman.

    Kempes Membawa Berkah; Sesobek Hikmah dari K. Faizi

    Kempes Membawa Berkah; Sesobek Hikmah dari K. Faizi

    Posted by Abd. Warits Ilham  |  at  14.23


    14. 30 Wib pada hari Senin, 06 Mei 2013 saya mendapatkan ban depan motor saya kempes. 5 menit yang lalu saya masih mengendarainya dari kantin mahasiswa Instika dalam keadaan baik-baik saja. Padahal 25 menit lagi saya harus pulang bersama teman-tema semasa aliyah dulu yang saat ini sedang bersantai di mushalla kampus.
    Pikiran saya sedikit kalut saat itu, belum lagi kiriman orang rumah yang masih belum saya serahkan ke pondok. Dengan sedikit pilu, saya menceritakan keadaan ban motor saya pada kedua teman saya tersebut, sekaligus mempersilahkan mereka untuk pulang duluan, tapi diluar dugaan mereka bersikeras tetap menunggu saya.
    Akhirnya dengan perasaan lega saya mencari bengkel terdekat. Pilihan saya jatuh pada bengkel kak muhammad yang berlokasi di simpang tiga buk jamil yang memang biasa menjadi langganan saya. Saya suka cara mereka bekerja, tidak kasar dan hati-hati. Terbukti ketika mereka akan membuka ban luar motor saya, mereka gunakan sesobek kertas agak tabal untuk bantalan, sehingga tidak membuat roda motor saya lecet.
    Sesampainya di bengkel, ternyata masih ada enam motor yang antri dikerjakan. Memang, bengkel ini tak pernah sepi. saya hanya melihat kak muhammad seorang diri, tampaknya dia baru selesai shalat. Baju lengang panjang dan sarung kotak-kotak, plus songkok putih masih ia kenakan. Setelah menceritakan nasib motor saya, dia berujar “antos sakejje lek, nak kanak ghi’ abhejeng, tanggungan ka ashar” (tunggu sebentar dek, teman-teman masih shalat, mungkin sekalian nunggu ashar)
    Hem, rupanya waktu penambalan ban ini akan membutuhkan waktu lebih lama dari perkiraan saya. Dengan segala rasa, saya hubungi teman saya via sms, tak enak melalui nelpon. Saya jelaskan keadaan saya, yang masih membutuhkan lebih banyak waktu.
    Ya…, Sms terkadang memang membuat seseorang merasa enjoy ketika menyampaikan situasi tak nyaman, paling tidak itulah yang saya rasakan. Tapi ternyata mereka telpon balik, inilah keadaan yang saya kawatirkan. Harus saling bertukar suara saat kondisi yang tidak tepat, sementara saya lah penyebab utamanyanya. Saya persilahkan mereka pulang lebih dulu, karena saya tidak tahu berapa lama motor saya selesai dikerjakan.
    Apakah semua ini kebetulan? Pikiran semacam itu mengejutkan saya yang sedang termenung. Saya pikir tidak, tidak ada satupun kejadian yang kebetulan dalam hidup ini. Semua sudah terencana, dan terkonsep. Saya pun ingat, tadi malam ayah saya juga mengalami nasib sama, ban belakang motornya bocor, sehingga terpaksa menggagalkan rencananya untuk menyambangi teman lamanya, padahal semua oleh-oleh sudah disiapkan. Tapi beginilah hidup, selalu ada kejadian yang tak terduga. Entah apa sebenarnya maksud Tuhan, selalu saja menjadikan hidup ini tak terjelaskan.
    Setelah menunggu kurang lebih 45 menit, akhirnya tibalah motor saya dikerjakan. Ternyata ban depan saya memang pernah bocor, nah dibekas tembelan itulah yang melepuh, mungkin kekuatannya mulai berkurang setelah kurang lebih delapan bulan menempel, guna menemani perjalanan saya, menempuh jarak kurang lebih 70 km setiap hari dari gapura ke guluk-guluk, akhirnya hari ini menyerah.
    Tidak menunggu waktu lama, hanya berkisar 15 menit selesai sudah motor saya dikerjakan. Setelah membayar uang jasa, dan mengucapkan terimakasih saya pun segera kembali ke kampus. Tidak ada kejadian menarik yang bisa saya ceritakan dalam perjalanan itu, semua berjalan seperti biasa. Lalu lalang kendaraan bermotor tampak senggang di sore yang berawan ini.

    Hikmah yang terkuak
    Inilah awal dari hikmah yang mentramkan saya, membuat saya merasakan bahwa beberapa kejadian yang tidak mengenakkan itu memang harus terjadi. Beginilah awalnya…
    Setelah selesai shalat ashar, saya pun bergegas menyiapkan diri untuk pulang. Sudah delapan jam meninggalkan rumah, saatnya kembali berkumpul dengan mereka, kangen rasanya. Setelah memasang jaket, tiba-tiba kak Fais, salah satu staf ahli di Instika; saya sebut demikian karena pekerjaannya sangat banyak, mulai dari mengurus administrasi dua Fakultas, mengurus Lab ICT yang sistemnya masih tahap pembenahan, juga SIAKAD kampus yang terkadang juga butuh sentuhannya, menginstal komputer yang bermasalah, dan juga sebrek pekerjan lainnya dipondok. Saya membayangkan saja rasanya saya sudah menyerah. Tiba-tiba dia memanggil saya, “bhekna mulea ris” (kau mau pulang).
    “Iya kak, saya mau pulang, kenapa? ”
    “Mau nitip mp3 player sama K. Faizi, katanya.”
    “Oke, tapi aku titipkan ke santrinya ya….”
    “Jangan lah, serahkan sendiri, Cuma mau salaman sebentar saja kok”. Nasehatnya
    “Oke”. Ujar saya sambil menerima sebuah mp3 player yang masih gres dari tangannya.
    Bilang sama K. Faizi, “free download”, imbuhnya setelah mp3 itu berpindah ke tangan saya.
    “e e” saya melongo saja. Tidak mengerti dengan pesan terakhirnya, mana ada mp3 player free download. Atau apakah itu tipe terbaru dengan fitur free download, semisal ada jaringan wifi atau lainnya? Apa saya sedemikian kuper tidak mengetahui perkembangan fitu mp3 player?
    “sudah bilang saja begitu” ujarnya lalu beranjak meninggalkan saya, rupanya ia menangkap raut keheranan di wajah saya.
    Saya tidak berbicara lagi, langsung menyambar tas lalu menyetarter motor honda supra 125 yang sudah 8 bulan menemani hampir semua aktivitas saya. Tidak butuh waktu lama, hanya sekita 3 menit saya sudah tiba di halaman rumah K. Faizi. Ada rasa segan yang menghinggapi benak saya bila harus berhadapan dengan beliau tampa kopyah, meski pada dasarnya kopyah bukan ukuran mati kesopanan. Tapi bagi saya, tidak berkopyah lalu ”nyabis” ke Kiai, itu tindakan kurang ajar. Saya mulai berfikir menitipkan saja pada santrinya, tapi kak Fais mengamanatkan saya harus menyampaikannya sendiri.
    Pergulatan di benak saya belum juga berakhir, lalu saya memutuskan untuk melangkah mendekat ke pintu rumah beliau, seorang santri menatap saya, saya tanya apakah kiai Faizi ada atau tidak. Ia hanya mengangguk ringan.
    Assalamualaikum”. Saya beranikan diri ucapkan salam
    “Waalaikumsalam” Terdengar jawaban pelan dari dalam, perlahan pintu terbuka dan muncullah sosok K. Faizi dengan gaya khasnya, santai dan berkopyah. Tidak seperti saya, agunnulan.
    Bheh Kamu” sapanya lembut
    Enggi kiai, ngatorragie mp3 dari kak Fais” ucap saya sambil menyodorkan mp3 ke tangan beliau, belum sempat saya salaman, karena beliau keburu menerima mp3 ditangan saya. Tidak lupa saya sampaikan pesan “free downloadnya kak Fais” beliau hanya tertawa ringan. Rupanaya asal muasal kata Free Download karena beliau punya mp3 player gratisan, tapi cepat rusak. Hem, hidup memang selalu ada-ada saja, hehehe
    dhinggal abdina nyoon pamit” ujarku sambil mengulurkan tangan hendak pamitan.
    Setelah menjabat tangan beliau, saya pun bergegas menuju parkiran sepeda motor, tapi baru memegang helm tiba-tiba terdengar suara K. Faizi memanggil saya
    ris, .. ris,” saya menoleh, memastikan bahwa nama saya yang memang beliau panggil.
    Ternyata betul, beliau memang memanggil saya. saya pun mendekat dengan seabrek tanya dalam kepala, ada apa kok tiba-tiba beliau memanggil saya?, apa saya akan diberikan sesuatu? (penuh harap, hehe),
    “Ponapa kiai” ujar saya lirih saat didekat beliau
    Kamu tahu edi” pertanyaan yang sama sekali tidak saya pikirkan, saya memang mengenal banyak orang bernama “edi” termasuk salah satu pemilik toko onderdil mobil yang dikenal dengan nama “Edi Ban” karena memang menyediakan “Ban” mobil dengan merk dan jenis yang fariatif, saya lalu berpikir apa beliau akan meminta saya untuk memotret jenis ban untuk mobil mitsubisi “pariwisata” kepunyaan beliau, tapi…
    Edi yang jadi direktur Diva Press itu” ujarnya kemudian,
    Duh, saya terlalau jauh berfikir, ternyata dugaan saya meleset.
    Edi punyak tulisan di blognya, nama blognya Edi Akhlis, tulisannya bagus, coba dibaca, kamu tidak akan pernah mengira kalau Edi bisa menulis seperti itu” ujarnya penuh semangat.
    baik kiai, akan saya lihat nanti” jawab saya lirih
    Tiba-tiba ponsel beliau berdering, rupanya ada seseorang yang menelponnya. Kesempatan itu saya gunakan untuk membuka internit dari handpone saya, segera mengetik “edi, diva press”. Saya gunakan kata kunci itu, sebab tidak mendengar jelas mengenai nama blog “Edi” yang dimaksudkannya tadi.
    Setelah beliau selesai menerima telpon, saya pun menunjjukan sebuah blog “Edi Akhlis” yang saya temukan saat browser beberapa detik lalu. Beliau mengangguk, kemudian menjelaskan beberapa kelebihan dalam tulisan yang kata beliau harus saya baca itu.
    Setelah penjelasan beliau berakhir, saya lalu mohon pamit karena matahari semakin tenggelam di ufuk barat.
    Saya masih belum bisa mengerti apa maksud K. Faizi menunjukkan blog Edi Akhlis ini, beberapa pertanyaan bermunculan dibenak saya.
    Pikiran saya pun menerawang, teringat tentang kisah-kisah ulama terdahulu yang memang memiliki cara unik dan khas dalam mendidik santri-santrinya. Salah satunya saya dengar bahwa ada seorang santri yang selama hidupnya hanya diperintahkan memanjat pohon kelapa, munurunkan buah kelapa yang sudah siap dipetik. Rupanya untuk melakukan perkerjaan ini membutuhkan keahilan tertentu, utamanya dalam menentukan jenis buah yang matang atau masih setengah matang.
    Uniknya, setelah santri tersebut pulang ke rumah, dia menjadi kiai yang alim dan disegani. Selain cerita itu, ada seseorang yang selama nyantri diperintah mengurus hewan peliharaan kiai, diminta mengurus ternak. Hasilnya luar biasa, mereka pun akhirnya menjadi orang terpandang setelah pulang dari pesantren. Masih banyak cerita serupa.
    Lalu saya berfikir, jangan-jangan ini adalah trik K. Faizi agar saya belajar gaya kepenulisan mas Edi Akhlis yang memang pantas untuk saya pelajari itu. Mungkin beliau paham, bahwa beberapa bulan terakhir ini saya memang banyak belajar (meniru) gaya kepenulisan beliau yang renyah dan enak dibaca, santai dan sarat dengan makna.
    Terimakasih kiai, saya tidak akan pernah bosan berguru pada ajhunan dalam menulis, dan banyak hal lainnya. saran ajhunan akan abdhina terus ikuti.
    Perjalanan dari Guluk-Gukuk ke Gapura, terasa lebih lama dari biasanya, saya tak sabar ingin menuliskan semua pikiran yang sejak tadi berkelebat dalam pikiran saya.

    Mator Pangistoh, 06 Juni 2013
    Pangong-ngangan, Madura


    Nyabis             : Sowan
    Agunnulan       : tidak memakai kopyah
    Ajhunan           : engkau, kamu, anda
    Abdhina           : saya, 

    Tweets



    Pengikut

    Copyright © 2013 Pengintai Senja. WP Theme-junkie converted by BloggerTheme9
    Blogger template. Proudly Powered by Blogger.
    back to top