Kopi, Tambhul, dan Bherkat

Posted by Abd. Warits Ilham  |  at  10.44




Setiap kali ada acara selametan atau hajatan tertentu (masyarakat madura biasa menyebutnya Karjheh atau Onjengan), bagi masyarakat madura menyajikan Kopi, Tambhul, dan Bherkat merupakan menu wajib yang harus disajikan. Tanpa ketiganya, semeriah apa pun acara itu, nampak suasana hajatan kurang sempurna dan tidak hikmat.
Secara umum, setiap orang yang menghadiri Onjhengan mendapatkan beberapa hidangan antara lain: Kopi, Rokok, dan Tambhul; sebagai sajian pembuka, kemudian Nasi lengkap dengan lauknya; sebagai sajian inti, lalu diakhiri dengan sajian penutup berupa Es Podheng dan Bherkat yang biasa dibawa pulang sebagai oleh-oleh bagi keluarga dirumah.
Semua hidangan tersebut, memiliki cara tersendiri dalam menghidangkannya. Untuk menghidangkan kopi, setiap tamu dipersilahkan memilih tempat duduk dulu berdasarkan petunjuk penerima tamu, baru kemudian petugas penghidang kopi dengan cara bersimpuh di depan tamu tersebut lalu memberinya secangkir kopi. Berturut-turut setelah itu, petugas rokok datang menghampiri tamu yang baru saja mendapatkan kopi lalu dilanjutkan oleh petugas penyajian tambhul untuk diselipkan pada sisi cangkir kopi milik tamu tersebut.
Masa kecil saya dulu, saya selalu merasa senang ketika tahu bahwa kakek sedang kaonjhengan. Saya pun rela tidur lebih malam, meski mata sudah sangat mengantuk, hanya untuk melihat isi bherkat yang beliau bawa pulang. Meski isinya sudah dapat saya tebak, misalnya berisi: nasi bersama beberapa potong masakan daging sapi, ayam atau kambing lengkap dengan kuah kuningnya, terkadang juga ada telor matang, dan beberapa jenis jajanan desa sebagai pelengkap isi menu bherkat tersebut. Rasanya, Nasi dalam bherkat itu cita rasanya terasa lebih nikmat dan sedap ketimbang nasi yang setiap hari kami makan di rumah. Padahal saya meyakini tidak ada yang berbeda dalam hal itu.
“Bherkat rea benni kakanan bhensaromben, lha mare epangaji’i, mare abecaen pattehah, mare ebecaen shalawat, deddi sapa’a bheih oreng se ngakan bherkat odhi’na bhekal ngaolle kabherkathen dheri pangeran, bhen odhi’na bhekal samporna” (Bherkat bukanlah menu makanan sembarangan, makanan tersebut sudah dibacakan fatihah, dan shalawat, karena itu siapapun yang makan isi menu dalam Bherkat kehidupannya akan mendapat keberkahan dari Tuhan berupa kehidupan yang sempurna) itulah penjelasana kakek yang selalu saya degan setiap kali menikmati bherkat yang beliau bawa pulang.
Dulu, saya hanya manggut-maggut saja mendengarkan petuah kakek itu, saya pun berkeyakinan akan kebenaran kalimat sederhana tersebut, tanpa sedikit pun bertanya bagaimana bisa, hanya dengan memakan bherkat lalu orang itu akan mendapatkan kesempurnaan dalam hidupnya.
Baru setelah saya membaca karya Agus Musthafa dan mendengar pidato ilmiah Harun Nasution saya pun paham, bahwa ada perbedaan struktur makanan antara yang dibacakan shalawat atau ayat al-qur’an dengan makanan yang tidak dibacakan syalawat dan al-qur’an. Dijelaskan, bahwa makanan yang dibacakan ayat al-qur’an terhindar dari energi negatif yang memang selalu melingkupi kehidupan ini. Mungkin ini pula lah, salah satu alasan mengapa setiap kali hendak makan, manusia diwajibkan membaca basmalah.

Pangong-ngangan Madura, 17 April 2013
Salam Pangestoh

Catatan:
Tambhul      : semacam kue khas masyarakat madura, biasa siajikan bersamaan dengan kopi
Bherkat       :  oleh-oleh yang dibungkus plastik untuk dibawa pulang oleh setiap orang yang menghadiri onjhengan, didalamnya terdapat nasi lengkap dengan lauk, juga beberapa kue yang di jadikan Tambhul.
Onjhengan   :   sebutan untuk hajatan tertentu di masyarakat madura.
Es Podheng  :  minuman dingin racikan dari beberapa buah-buahan, semisal semangka, melon, atau dan adonan agar-agar.         



0 komentar:

Saat Rasa “Iba” Mulai Luntur

Posted by Abd. Warits Ilham  |  at  10.43




Senja baru saja rebah di ufuk barat, semilir angin menari pelan menyuguhkan aroma tanah yang baru saja membasah diguyur hujan. Sesekali kilat menyambar, menandakan bawah awan gelap masih tersisa di tengah-tengah birunya langit.
Adzan maghrib berkumandang saat saya memasukkan motor ke halaman rumah yang masih tumpah ruah dengan sisa-sisa air hujan. Rasanya, saat ini saya merasa begitu letih setelah seharian penuh menjalankan rutinitas di Kampus, apalagi sepanjang perjalanan Guluk-Guluk ke Gapura tak hentinya diguyur gerimis.
Setelah memarkir motor, lalu membuka jaket dan helm saya pun bergegas menuju dapur, setelah terlebih dulu meletakkan tas di emperan rumah. Saya ingin membasuh wajah yang kuyup ini dengan air hangat, rasanya itu akan sangat membantu menyegarkan kembali tubuh yang penat.
Suasana rumah tampak sepih, ini agak ganjil. Sebab biasanya sore menjelang maghrib ada banyak tetangga maupun keluarga lainnya berkumpul di rumah, tapi hari ini hanya “si neng” (kucing kesayangan saya) yang menyambut kedatagan saya di pintu dapur. Saya tidak menggubris “keongannya” karena wajah saya terasa lengket dengan sisa-sisa air hujan tadi.
Sayangnya tidak sedikitpun air panas yang saya dapatkan di dapur, semuanya kosong. Dengan langkah lelah, saya menuju kamar mandi untuk membasuh wajah, agar sedikit mendapat kesegaran.
Baru keluar dari kamar mandi, saya mendapatkan ibu saya berjalan gontai dari arah barat, tampa saya minta dia menceritakan kondisi salah tetangga saya, sebut saja imah, yang sedang tertidur kesakitan
“loh, bukannya tadi pagi dia masih sibuk menjemur padi” tanya saya keheranan
“sakitnya mendadak, sepertinya taon1 , sekarang sedang di pijak sama bhe’2 sunni-nya” ujarnya
“sekarang bagaimana keadaannya”
“masih kesakitan”

Lalu saya bergegas menjenguknya, rupanya semua tetangga sedang berkumpul disana, begitu pun dengan keluarga saya yang lain. Mbak ima, begitu saya memanggilnya masih mengerah kesakitan. Kedua tangannya dipegangi agar bisa membantunya menahan sakit akibat pijatan itu. Proses pemijatan telah sampai disekitar perut bagian bawahnya, kata sebagian tetangga yang sedang berbincang, proses pemijatan itu harus selesai hingga ujung kaki, agar “penyakitnya” turun dan keluar dari ujung kaki. Karena bila penyakit itu sampai di ubun-ubun penderita bisa mengalami kematian.
Setelah sekitar 15 menit dipijat, keadaannya tampak membaik. Meski air mukanya masih menyiratkan sedang menahan sakit. Sejenak saya perhatikan ia tampak begitu lelah, wajahnya pucat dan nafasnya tersenggal-senggal. Saya tak sanggup membayangkan bagaiama rasa sakitnya.
Gelap mulai pekat pertanda malam mulai larut. Setelah selesai shalat maghrib saya kembali menjenguk mbak Ima, rupanya penyakitnya kambuh lagi. Kali ini lebih parah, bahkan beberapa kali ia mengerang lebih keras karena menahan sakit. Bahkan katanya, mbak Ima sempat tidak sadarkan diri.
Akhirnya setelah beberapa menit keadaan Mbak Ima masih belum juga membaik, pihak keluarga memutuskan untuk dibawa rumah sakit, awalnya akan dibawa ke puskesmas saja, sebab bila dirwat ke RSUD dr. Soetomo Sumenep tentu biayanya akan sangat mahal. Apalagi mbak Ima bukanlah orang berada, suaminya tidak mempunyai kerja tetap, ia hanya memelihara beberapa jenis burung dan ayam yang selama ini dijadikannya sumber penghidupan.
Namun tiba-tiba, sebuah teriakan nyaring terengar, rupanya Mbak Ima kembali tak sadarkan diri. Orang-orang mulai panik, untungnya bersamaan dengan itu mobil pick up yang akan membawanya ke puskesmas datang. Awalnya beberapa orang tampak ragu, kawatir Mbak Ima tak mampu bertahan dalam perjalanan, namun suami mbak Ima meyakinkan bahwa dia harus dibawa ke rumah sakit.
Melihat kondisi mbak ima yang semakin lemah, akhirnya diputuskan agar ia dibawa ke RSUD saja. Sebab ketika sampai di puskesmas, tentunya akan dirujuk ke RSUD juga. Semua pihak pun sepakat, membawa mbak ima ke RSUD. Apalagi mbak ima punya kartu Jamkesmas, tentu akan membantu meringankan biaya pengobatannya.
Begitulah kehidupan di desa, sekecil apapun masalahnya harus dibicarakan pada semua tantaretan. Jika tidak, pihak yang tidak diikut sertakan berembuk akan tersinggung. Memang kehidupan desa memiliki keunikan tersendiri.
Perjalanan menuju RSUD yang berjarak kurang lebih 17 KM terasa sangat lama, padahal dalam waktu normal hanya butuh waktu sekitar 25 menit. Tapi perjalanan kali ini rasanya sudah berjam-jam. Lantunan kalimat istighfar dan shalawat tak henti-hentinya terdengar, memohon pada Tuhan agar mbak Ima diberikan kekuatan untuk bertahan dan mendapatkan kesembuhan.
Setibanya di RSUD, mbak ima langsung dilarikan ke UGD. Dia pun langsung mendapatkan perawatan intensif, sementara saya sedang mengurus adiministrasinya di loket. Alhamdulillah tidak ada hambatan dalam proses registrasinya sebagaimana yang saya kawatirkan.
Setelah registrasi, saya beranjak menuju UGD. Mbak ima sudah mulai sadar, namun keadaannya belum berubah.
“Keluarga ny. Ima” terdengar panggilan seorang perawat
Istri saya segera menghampiri panggilan itu, rupanya resep obat yang harus ditebus sudah selesai di susun. Kami pun segera berlarian menuju apotik yang terletak di penghujung barat kompleks rumah sakit untuk menebus obat, sialnya ada sekitar tujuh orang yang sedang antri. Keadaan ini sedikit menggelisahkan. Namun kami tidak punya pilihan lain, menuju apotik lain tentu akan menghabiskan waktu lebih banyak.
Tampa terasa 15 menit berlalu. Mbak ima sudah dipindahkan ke ruang rawat kandunga. Rupanya dari hasil pemeriksaan sementara, dia dinyatakan hamil diluar kandungan. Saya lihat keadaannya semakin lemah, dia tidak hentinya mengerang kesakitan. “Innalillah, saya benar-benar tidak menyangka ia mengalami penderitaan itu” guma saya dalam hati.

Kami pun diminta lekas ke PMI untuk mendapatkan darah, sebab Mbak Ima mulai mengalami pendarahan. Tampa menunggu lebih lama, saya bersama istri segera menuju PMI. Sesamapainya disana, saya mulai menyerahkan sampel darah dan surat pengantar dari rumah sakit. hasil tes dasarahnya menunjukkan bahwa golongan darahnya B. Namun dengan santainya petugas PMI bilang stok darah sedang habis, kami diminta untuk mendatangkan keluarga lainnya agar bisa diambil darahnya.


Kami pun mulai mengontak orang-orang yang memiliki ikatan darah dengan mbak ima, namun ternyata tak ada satupun dari mereka yang bersedia. Mereka beralasan takut, entah takut seperti apa yang mereka kawatirkan. Dalam keadaan panik seperti itu, kami mulai menghubungi beberapa orang yang yang kami kenal memiliki golongan darah B.
Setelah beberapa kali mendesak, akhirnya kami mendapatkan satu kantong darah dari PMII. Padahal waktu itu kami membutuhkan empat kantong darah. Namun apa boleh buat, darah bukanlah air yang dengan mudah bisa kami dapatkan.
45 menit berlalu, belum ada satu pendonorpun yang kami dapatkan. Orang-orang terdekat masih juga enggan mendonorkan darahnya, bahkan untuk tes darah pun mereka enggan, padahal mereka tahu bahwa mbak Ima dalam keadaan sekarat.
Hasil laboratorium sudah keluar. Dugaannya benar, mbak ima mengalami kehamilan diluar kandungan. Melihat kondisinya yang kian lemah, dokter jaga menyarankan agar mbak ima dirujuk ke RSUD Pamekasan, sebab butuh tindakan lebih intensif. Sementara disini (RSUD) dokter kandunganya sedang tidak ada, maklum hari itu adalah malam sabtu, katanya setiap sabtu hingga minggu dokter memang tidak ada. Dan mereka akan aktif kembali pada hari senin.
Saya tidak mengerti dengan mikanisme seperti itu. Bagaimana kalau ada pasien yang butuh tingakan operasi, sementara dokter yang bersangkutan tidak ada? Apa ia harus menunggu hingga dua sampai tiga hari? Lalu bagaimana kalau keadaannya terus memburuk lalu berakibat kematian, siapa yang akan bertanggung jawab?
Memang beberapa kali perawat menjelaskan bahwa anjuran merujuk ke RSUD pamekasan bukan karena ia pasien jamkesmas, tapi karena memang dokternya sedang tidak ada. Sementara kondisi mbak ima semakin menurun. Mau dipindahkan ke ICU, ruangnya sedang penuh. Karena minggu ini, pasien memang membeludak.
Akhirnya dengan segala pertimbangan, akhirnya kami sepakat untuk merujuk mbak Ima ke RS Esto Ebu agar segera mendapatkan perawatan intensif. Memang biaya yang dibutuhkan akan jauh lebih banyak, sebab kartu Jamkesmas tidak berfungsi di rumah sakit swasta.
Malam mulai semakin larut, jam sudah meniti angka 11 malam. Setibanya di Esto Ebhu mbak segera mendapatkan pemeriksaan intensif, bahkan dr.  Ipnu selaku pimpinan rumah sakit dan selaku dokter kandunga satu-satung di rumah sakit itu dibangunkan, sebab kondisi mbak ima memang benar-benar kritis. Malam itu juga, mereka memberitahukan bahwa mbak ima akan segera dioperasi, mereka minta tambahan darah menjadi 10 kantong.
Kami kelimpungan, yang 4 kantong saja hanya dapat satu, sekarang kami harus mendapatkan 10 kantong darah. Kembali lagi mendesak beberapa keluarga terdekat agar mereka bersedia mendonorkan darahnya, tapi lagi-lagi hanya penolakan dengan alasan takut yang kami terima. Padahal mereka tahu, kondisi mbak ima sedang kritis dan besar kemungkinan; bila tidak segera ditangani, akan mengalami kematian.
Untunya ada kak H (inisial) yang punya kenalan di PMI. 4 bulan lalu ibu mertuanya menjalai operasi tomur dan butuh darah hingga 12 kantong, dari kenalan itulah darah itu ia dapatkan. Saya bersama kak H langsung meluncur ke PMI, tak sadar bahwa sama sekali tidak pegang uang, namun urusan ini sudah sangat membuat kami kelipungan. Selain prihatin dengan kondisi mbak ima, juca kesal dengan sikap saudara-saudaranya yang enggan mendonorkan darahnya.
Benar saja, sesampainya disana kami mendapati orang itu; sebut saja bapak SH, sanggup mendatangkan pendonor darah golongan B. dengan suara pelan dia berujar “tapi harganya beda ya pak, ya seperti biasa
Kak H pun langsung menyanggupinya, namun untuk sementara Kak H minta 4 orang dulu, sebab belum pegang uang. Tapi keadaan ini sudah mendesak, tidak ada jalan lain yang bisa kami lakukan. Sejanak bapak SH mengambil handpone miliknya lalu menekan tombol call “butuh darah B 4 kantong, segera ya”, pembicaraan berakhir.
Jujur saja saya sedikit tercengang, rupanya ditengah situasi yang makin amburadul ini, makin banyak saja orang yang “cerdas” mencari peluang bisnis. Dari paparan Kak H, saya tahu bahwa kami harus membayar sebsar Rp 150.000 untuk masing-masing pendonornya nanti, harga itu belum biaya cek fisik dan sarana lainya di PMI yang harganya kisaran 275.000 untuk tiap kantong.
20 menit telah berlalu, pendonor yang tadi di telpon masih belum juga datang, mungkin masih dalam perjalanan atau masih sedang makan agar tidak limbung setelah mendonorkan darahnya. Maklum, ditengah malam yang selarut ini semua orang sudah pasti asyik dalam mimpinya masing-masing.
Sementara itu, desakan agar darahnya segera datang terus bermunculan dari pihak RS Esto Ebhu, Untungnya setelah beberapa kali di desak, suami mbak ima yang awalnya juga ketakutan mulai pasrah dan bersedia mendonorkan darahnya, ini sangat melegakan. Saya pun yang diketahui oleh perawat jaga di PMI saat itu memiliki golongan darah B, diminta untuk ikut mendonor. Padahal baru 2 bulan yang lalu saya mendonorkan darah, tentu ini menyalahi standart keamanan keselamatan pendonor, yang menyebutkan hanya setiap tiga bulan sekali dalam setahun. Tapi karena keadaan mendesak, perawat jaga pun meyakinkan bahwa keadaan saya akan baik-baik saja. Akhirnya dengan perasaan pasrah dan tawakkal saya bersedia. Alhamdulillah semua berjalan lancar.
Setelah itu, Kak H juga meminta istrinya untuk turut menyumbangkan darahnya, meski terlihat ketakutan, akhirnya juga bersedia. Keadaan ini sedikit menangkan kami. Sudah ada tiga kantong darah yang tersedia. Bersamaa dengan itu pula, dua orang pendonor datang. Artinya kami sudah memiliki 5 kantong darah, mungkin jumlah itu akan cukup hingga besok pagi.
****
Tengah malam sudah lewat, jam telah menunjuk angka 2 pagi. Kami mulai bisa bernafas lega, kabar bahwa mbak ima telah selesai dioperasi benar-benar menenangkan kami. 5 kantong darah pun oleh perawat dirasa cukup untuk besok pagi. Rasanya kami memiliki waktu sejenak untuk istirahat. .

Berselang 20 menit saya bersama kak H menemui bapak SH untuk mnyelesaikan “administrasinya” saya serahkan sejumlah uang sesuai dengan yang ia minta, tak lupa saya ucapkan terimakasih karena telah mengganggu istirahatnya.
Beginilah memang nasib orang yang sedang terjepit. Apapun syarat yang diminta akan tetap dipenuhi, karena hal itu memang sistem yang sudah berjalan masif dan dianggap lumrah.
Dalam tulisan ini saya tidak akan menyalahkan bapak SH yang meminta sejumlah jasa dalam “penyaluran” tenaganya menyediakan pendonor, sebab hal itu memang pantas ia dapatkan. Memang selayaknya kita memberikan tanda jasa bagi mereka yang bersedia “dikurangi” darahnya demi menyelamatkan orang lain.
Yang saya sayangkan adalah “ketidaktersediaan” darah di PMI selaku penanggung jawab, semestinya mereka lebih giat lagi mencari pendonor agar darah senantiasa tersedia.
Saya hanya berharap situasi tersebut bukan bagian dari sistem terencana oleh orang-orang tertentu . Saya masih mau berfikir positif bahwa adanya Bapak SH yang setiap malam bermalam di kantor PMI, murni demi membantu orang lain. Dan atas perannya itu, sudah selayaknya ia mendapatkan tanda jasa dari tenaga yang ia keluarkan itu.
Suara Qiraat mulai berkumandang dari beberap masjid terdekat, setelah mengucapkan terimakasih kami pun beranjak menuju RS Esto Ebhu, rasanya malam ini kami telah melalui berbagai keadaan yang sulit. Semoga kondisi mbak Ima terus membaik.

Pangong-ngangan, Madura 12 Mei 2013
Mator Pangestoh

Kisah ini terjadi beberapa bulan yang lalu, kini mbak Ima sudah bisa beraktivitas seperti sedia kala, saya menuliskan kisa ini agar ada sesobek catatan mengenai sisi lain dari “setetes darah anda dapat menyelamatkan nyawa orang lain

Catatan:
1.      Ta'on : Sebutan jenis penyakit di perut, kata tetua dusun orang yang sakit jenis ini bisa berakibat kematian bila darah yang beku tidak dikeluarkan
2.         Bhe’   : bahasa madura (Obhe’) atau paman.

0 komentar:

Kempes Membawa Berkah; Sesobek Hikmah dari K. Faizi

Posted by Abd. Warits Ilham  |  at  14.23


14. 30 Wib pada hari Senin, 06 Mei 2013 saya mendapatkan ban depan motor saya kempes. 5 menit yang lalu saya masih mengendarainya dari kantin mahasiswa Instika dalam keadaan baik-baik saja. Padahal 25 menit lagi saya harus pulang bersama teman-tema semasa aliyah dulu yang saat ini sedang bersantai di mushalla kampus.
Pikiran saya sedikit kalut saat itu, belum lagi kiriman orang rumah yang masih belum saya serahkan ke pondok. Dengan sedikit pilu, saya menceritakan keadaan ban motor saya pada kedua teman saya tersebut, sekaligus mempersilahkan mereka untuk pulang duluan, tapi diluar dugaan mereka bersikeras tetap menunggu saya.
Akhirnya dengan perasaan lega saya mencari bengkel terdekat. Pilihan saya jatuh pada bengkel kak muhammad yang berlokasi di simpang tiga buk jamil yang memang biasa menjadi langganan saya. Saya suka cara mereka bekerja, tidak kasar dan hati-hati. Terbukti ketika mereka akan membuka ban luar motor saya, mereka gunakan sesobek kertas agak tabal untuk bantalan, sehingga tidak membuat roda motor saya lecet.
Sesampainya di bengkel, ternyata masih ada enam motor yang antri dikerjakan. Memang, bengkel ini tak pernah sepi. saya hanya melihat kak muhammad seorang diri, tampaknya dia baru selesai shalat. Baju lengang panjang dan sarung kotak-kotak, plus songkok putih masih ia kenakan. Setelah menceritakan nasib motor saya, dia berujar “antos sakejje lek, nak kanak ghi’ abhejeng, tanggungan ka ashar” (tunggu sebentar dek, teman-teman masih shalat, mungkin sekalian nunggu ashar)
Hem, rupanya waktu penambalan ban ini akan membutuhkan waktu lebih lama dari perkiraan saya. Dengan segala rasa, saya hubungi teman saya via sms, tak enak melalui nelpon. Saya jelaskan keadaan saya, yang masih membutuhkan lebih banyak waktu.
Ya…, Sms terkadang memang membuat seseorang merasa enjoy ketika menyampaikan situasi tak nyaman, paling tidak itulah yang saya rasakan. Tapi ternyata mereka telpon balik, inilah keadaan yang saya kawatirkan. Harus saling bertukar suara saat kondisi yang tidak tepat, sementara saya lah penyebab utamanyanya. Saya persilahkan mereka pulang lebih dulu, karena saya tidak tahu berapa lama motor saya selesai dikerjakan.
Apakah semua ini kebetulan? Pikiran semacam itu mengejutkan saya yang sedang termenung. Saya pikir tidak, tidak ada satupun kejadian yang kebetulan dalam hidup ini. Semua sudah terencana, dan terkonsep. Saya pun ingat, tadi malam ayah saya juga mengalami nasib sama, ban belakang motornya bocor, sehingga terpaksa menggagalkan rencananya untuk menyambangi teman lamanya, padahal semua oleh-oleh sudah disiapkan. Tapi beginilah hidup, selalu ada kejadian yang tak terduga. Entah apa sebenarnya maksud Tuhan, selalu saja menjadikan hidup ini tak terjelaskan.
Setelah menunggu kurang lebih 45 menit, akhirnya tibalah motor saya dikerjakan. Ternyata ban depan saya memang pernah bocor, nah dibekas tembelan itulah yang melepuh, mungkin kekuatannya mulai berkurang setelah kurang lebih delapan bulan menempel, guna menemani perjalanan saya, menempuh jarak kurang lebih 70 km setiap hari dari gapura ke guluk-guluk, akhirnya hari ini menyerah.
Tidak menunggu waktu lama, hanya berkisar 15 menit selesai sudah motor saya dikerjakan. Setelah membayar uang jasa, dan mengucapkan terimakasih saya pun segera kembali ke kampus. Tidak ada kejadian menarik yang bisa saya ceritakan dalam perjalanan itu, semua berjalan seperti biasa. Lalu lalang kendaraan bermotor tampak senggang di sore yang berawan ini.

Hikmah yang terkuak
Inilah awal dari hikmah yang mentramkan saya, membuat saya merasakan bahwa beberapa kejadian yang tidak mengenakkan itu memang harus terjadi. Beginilah awalnya…
Setelah selesai shalat ashar, saya pun bergegas menyiapkan diri untuk pulang. Sudah delapan jam meninggalkan rumah, saatnya kembali berkumpul dengan mereka, kangen rasanya. Setelah memasang jaket, tiba-tiba kak Fais, salah satu staf ahli di Instika; saya sebut demikian karena pekerjaannya sangat banyak, mulai dari mengurus administrasi dua Fakultas, mengurus Lab ICT yang sistemnya masih tahap pembenahan, juga SIAKAD kampus yang terkadang juga butuh sentuhannya, menginstal komputer yang bermasalah, dan juga sebrek pekerjan lainnya dipondok. Saya membayangkan saja rasanya saya sudah menyerah. Tiba-tiba dia memanggil saya, “bhekna mulea ris” (kau mau pulang).
“Iya kak, saya mau pulang, kenapa? ”
“Mau nitip mp3 player sama K. Faizi, katanya.”
“Oke, tapi aku titipkan ke santrinya ya….”
“Jangan lah, serahkan sendiri, Cuma mau salaman sebentar saja kok”. Nasehatnya
“Oke”. Ujar saya sambil menerima sebuah mp3 player yang masih gres dari tangannya.
Bilang sama K. Faizi, “free download”, imbuhnya setelah mp3 itu berpindah ke tangan saya.
“e e” saya melongo saja. Tidak mengerti dengan pesan terakhirnya, mana ada mp3 player free download. Atau apakah itu tipe terbaru dengan fitur free download, semisal ada jaringan wifi atau lainnya? Apa saya sedemikian kuper tidak mengetahui perkembangan fitu mp3 player?
“sudah bilang saja begitu” ujarnya lalu beranjak meninggalkan saya, rupanya ia menangkap raut keheranan di wajah saya.
Saya tidak berbicara lagi, langsung menyambar tas lalu menyetarter motor honda supra 125 yang sudah 8 bulan menemani hampir semua aktivitas saya. Tidak butuh waktu lama, hanya sekita 3 menit saya sudah tiba di halaman rumah K. Faizi. Ada rasa segan yang menghinggapi benak saya bila harus berhadapan dengan beliau tampa kopyah, meski pada dasarnya kopyah bukan ukuran mati kesopanan. Tapi bagi saya, tidak berkopyah lalu ”nyabis” ke Kiai, itu tindakan kurang ajar. Saya mulai berfikir menitipkan saja pada santrinya, tapi kak Fais mengamanatkan saya harus menyampaikannya sendiri.
Pergulatan di benak saya belum juga berakhir, lalu saya memutuskan untuk melangkah mendekat ke pintu rumah beliau, seorang santri menatap saya, saya tanya apakah kiai Faizi ada atau tidak. Ia hanya mengangguk ringan.
Assalamualaikum”. Saya beranikan diri ucapkan salam
“Waalaikumsalam” Terdengar jawaban pelan dari dalam, perlahan pintu terbuka dan muncullah sosok K. Faizi dengan gaya khasnya, santai dan berkopyah. Tidak seperti saya, agunnulan.
Bheh Kamu” sapanya lembut
Enggi kiai, ngatorragie mp3 dari kak Fais” ucap saya sambil menyodorkan mp3 ke tangan beliau, belum sempat saya salaman, karena beliau keburu menerima mp3 ditangan saya. Tidak lupa saya sampaikan pesan “free downloadnya kak Fais” beliau hanya tertawa ringan. Rupanaya asal muasal kata Free Download karena beliau punya mp3 player gratisan, tapi cepat rusak. Hem, hidup memang selalu ada-ada saja, hehehe
dhinggal abdina nyoon pamit” ujarku sambil mengulurkan tangan hendak pamitan.
Setelah menjabat tangan beliau, saya pun bergegas menuju parkiran sepeda motor, tapi baru memegang helm tiba-tiba terdengar suara K. Faizi memanggil saya
ris, .. ris,” saya menoleh, memastikan bahwa nama saya yang memang beliau panggil.
Ternyata betul, beliau memang memanggil saya. saya pun mendekat dengan seabrek tanya dalam kepala, ada apa kok tiba-tiba beliau memanggil saya?, apa saya akan diberikan sesuatu? (penuh harap, hehe),
“Ponapa kiai” ujar saya lirih saat didekat beliau
Kamu tahu edi” pertanyaan yang sama sekali tidak saya pikirkan, saya memang mengenal banyak orang bernama “edi” termasuk salah satu pemilik toko onderdil mobil yang dikenal dengan nama “Edi Ban” karena memang menyediakan “Ban” mobil dengan merk dan jenis yang fariatif, saya lalu berpikir apa beliau akan meminta saya untuk memotret jenis ban untuk mobil mitsubisi “pariwisata” kepunyaan beliau, tapi…
Edi yang jadi direktur Diva Press itu” ujarnya kemudian,
Duh, saya terlalau jauh berfikir, ternyata dugaan saya meleset.
Edi punyak tulisan di blognya, nama blognya Edi Akhlis, tulisannya bagus, coba dibaca, kamu tidak akan pernah mengira kalau Edi bisa menulis seperti itu” ujarnya penuh semangat.
baik kiai, akan saya lihat nanti” jawab saya lirih
Tiba-tiba ponsel beliau berdering, rupanya ada seseorang yang menelponnya. Kesempatan itu saya gunakan untuk membuka internit dari handpone saya, segera mengetik “edi, diva press”. Saya gunakan kata kunci itu, sebab tidak mendengar jelas mengenai nama blog “Edi” yang dimaksudkannya tadi.
Setelah beliau selesai menerima telpon, saya pun menunjjukan sebuah blog “Edi Akhlis” yang saya temukan saat browser beberapa detik lalu. Beliau mengangguk, kemudian menjelaskan beberapa kelebihan dalam tulisan yang kata beliau harus saya baca itu.
Setelah penjelasan beliau berakhir, saya lalu mohon pamit karena matahari semakin tenggelam di ufuk barat.
Saya masih belum bisa mengerti apa maksud K. Faizi menunjukkan blog Edi Akhlis ini, beberapa pertanyaan bermunculan dibenak saya.
Pikiran saya pun menerawang, teringat tentang kisah-kisah ulama terdahulu yang memang memiliki cara unik dan khas dalam mendidik santri-santrinya. Salah satunya saya dengar bahwa ada seorang santri yang selama hidupnya hanya diperintahkan memanjat pohon kelapa, munurunkan buah kelapa yang sudah siap dipetik. Rupanya untuk melakukan perkerjaan ini membutuhkan keahilan tertentu, utamanya dalam menentukan jenis buah yang matang atau masih setengah matang.
Uniknya, setelah santri tersebut pulang ke rumah, dia menjadi kiai yang alim dan disegani. Selain cerita itu, ada seseorang yang selama nyantri diperintah mengurus hewan peliharaan kiai, diminta mengurus ternak. Hasilnya luar biasa, mereka pun akhirnya menjadi orang terpandang setelah pulang dari pesantren. Masih banyak cerita serupa.
Lalu saya berfikir, jangan-jangan ini adalah trik K. Faizi agar saya belajar gaya kepenulisan mas Edi Akhlis yang memang pantas untuk saya pelajari itu. Mungkin beliau paham, bahwa beberapa bulan terakhir ini saya memang banyak belajar (meniru) gaya kepenulisan beliau yang renyah dan enak dibaca, santai dan sarat dengan makna.
Terimakasih kiai, saya tidak akan pernah bosan berguru pada ajhunan dalam menulis, dan banyak hal lainnya. saran ajhunan akan abdhina terus ikuti.
Perjalanan dari Guluk-Gukuk ke Gapura, terasa lebih lama dari biasanya, saya tak sabar ingin menuliskan semua pikiran yang sejak tadi berkelebat dalam pikiran saya.

Mator Pangistoh, 06 Juni 2013
Pangong-ngangan, Madura


Nyabis             : Sowan
Agunnulan       : tidak memakai kopyah
Ajhunan           : engkau, kamu, anda
Abdhina           : saya, 

0 komentar:

Pengikut

Copyright © 2013 Pengintai Senja. WP Theme-junkie converted by BloggerTheme9
Blogger template. Proudly Powered by Blogger.
back to top