Senja baru saja rebah
di ufuk barat, semilir angin menari pelan menyuguhkan aroma tanah yang baru
saja membasah diguyur hujan. Sesekali kilat menyambar, menandakan bawah awan
gelap masih tersisa di tengah-tengah birunya langit.
Adzan maghrib
berkumandang saat saya memasukkan motor ke halaman rumah yang masih tumpah ruah
dengan sisa-sisa air hujan. Rasanya, saat ini saya merasa begitu letih setelah
seharian penuh menjalankan rutinitas di Kampus, apalagi sepanjang perjalanan
Guluk-Guluk ke Gapura tak hentinya diguyur gerimis.
Setelah memarkir
motor, lalu membuka jaket dan helm saya pun bergegas menuju dapur, setelah
terlebih dulu meletakkan tas di emperan rumah. Saya ingin membasuh wajah yang
kuyup ini dengan air hangat, rasanya itu akan sangat membantu menyegarkan kembali
tubuh yang penat.
Suasana rumah tampak
sepih, ini agak ganjil. Sebab biasanya sore menjelang maghrib ada banyak
tetangga maupun keluarga lainnya berkumpul di rumah, tapi hari ini hanya “si
neng” (kucing kesayangan saya) yang menyambut kedatagan saya di pintu dapur.
Saya tidak menggubris “keongannya” karena wajah saya terasa lengket dengan
sisa-sisa air hujan tadi.
Sayangnya tidak
sedikitpun air panas yang saya dapatkan di dapur, semuanya kosong. Dengan langkah
lelah, saya menuju kamar mandi untuk membasuh wajah, agar sedikit mendapat
kesegaran.
Baru keluar dari kamar
mandi, saya mendapatkan ibu saya berjalan gontai dari arah barat, tampa saya
minta dia menceritakan kondisi salah tetangga saya, sebut saja imah, yang
sedang tertidur kesakitan
“loh, bukannya tadi
pagi dia masih sibuk menjemur padi” tanya saya keheranan
“sakitnya mendadak,
sepertinya taon1 ,
sekarang sedang di pijak sama bhe’2
sunni-nya” ujarnya
“sekarang bagaimana
keadaannya”
“masih kesakitan”
Lalu saya bergegas
menjenguknya, rupanya semua tetangga sedang berkumpul disana, begitu pun dengan
keluarga saya yang lain. Mbak ima, begitu saya memanggilnya masih mengerah
kesakitan. Kedua tangannya dipegangi agar bisa membantunya menahan sakit akibat
pijatan itu. Proses pemijatan telah sampai disekitar perut bagian bawahnya,
kata sebagian tetangga yang sedang berbincang, proses pemijatan itu harus
selesai hingga ujung kaki, agar “penyakitnya” turun dan keluar dari ujung kaki.
Karena bila penyakit itu sampai di ubun-ubun penderita bisa mengalami kematian.
Setelah sekitar 15
menit dipijat, keadaannya tampak membaik. Meski air mukanya masih menyiratkan
sedang menahan sakit. Sejenak saya perhatikan ia tampak begitu lelah, wajahnya
pucat dan nafasnya tersenggal-senggal. Saya tak sanggup membayangkan bagaiama
rasa sakitnya.
Gelap mulai pekat
pertanda malam mulai larut. Setelah selesai shalat maghrib saya kembali
menjenguk mbak Ima, rupanya penyakitnya kambuh lagi. Kali ini lebih parah,
bahkan beberapa kali ia mengerang lebih keras karena menahan sakit. Bahkan
katanya, mbak Ima sempat tidak sadarkan diri.
Akhirnya setelah
beberapa menit keadaan Mbak Ima masih belum juga membaik, pihak keluarga
memutuskan untuk dibawa rumah sakit, awalnya akan dibawa ke puskesmas saja,
sebab bila dirwat ke RSUD dr. Soetomo Sumenep tentu biayanya akan sangat mahal.
Apalagi mbak Ima bukanlah orang berada, suaminya tidak mempunyai kerja tetap,
ia hanya memelihara beberapa jenis burung dan ayam yang selama ini dijadikannya
sumber penghidupan.
Namun tiba-tiba,
sebuah teriakan nyaring terengar, rupanya Mbak Ima kembali tak sadarkan diri.
Orang-orang mulai panik, untungnya bersamaan dengan itu mobil pick up yang akan
membawanya ke puskesmas datang. Awalnya beberapa orang tampak ragu, kawatir
Mbak Ima tak mampu bertahan dalam perjalanan, namun suami mbak Ima meyakinkan
bahwa dia harus dibawa ke rumah sakit.
Melihat kondisi mbak
ima yang semakin lemah, akhirnya diputuskan agar ia dibawa ke RSUD saja. Sebab
ketika sampai di puskesmas, tentunya akan dirujuk ke RSUD juga. Semua pihak pun
sepakat, membawa mbak ima ke RSUD. Apalagi mbak ima punya kartu Jamkesmas,
tentu akan membantu meringankan biaya pengobatannya.
Begitulah kehidupan di
desa, sekecil apapun masalahnya harus dibicarakan pada semua tantaretan. Jika tidak, pihak yang tidak
diikut sertakan berembuk akan tersinggung. Memang kehidupan desa memiliki
keunikan tersendiri.
Perjalanan menuju RSUD
yang berjarak kurang lebih 17 KM terasa sangat lama, padahal dalam waktu normal
hanya butuh waktu sekitar 25 menit. Tapi perjalanan kali ini rasanya sudah
berjam-jam. Lantunan kalimat istighfar dan shalawat tak henti-hentinya
terdengar, memohon pada Tuhan agar mbak Ima diberikan kekuatan untuk bertahan
dan mendapatkan kesembuhan.
Setibanya di RSUD, mbak
ima langsung dilarikan ke UGD. Dia pun langsung mendapatkan perawatan intensif,
sementara saya sedang mengurus adiministrasinya di loket. Alhamdulillah tidak
ada hambatan dalam proses registrasinya sebagaimana yang saya kawatirkan.
Setelah registrasi, saya
beranjak menuju UGD. Mbak ima sudah mulai sadar, namun keadaannya belum
berubah.
“Keluarga ny. Ima”
terdengar panggilan seorang perawat
Istri saya segera
menghampiri panggilan itu, rupanya resep obat yang harus ditebus sudah selesai
di susun. Kami pun segera berlarian menuju apotik yang terletak di penghujung
barat kompleks rumah sakit untuk menebus obat, sialnya ada sekitar tujuh orang
yang sedang antri. Keadaan ini sedikit menggelisahkan. Namun kami tidak punya
pilihan lain, menuju apotik lain tentu akan menghabiskan waktu lebih banyak.
Tampa terasa 15 menit
berlalu. Mbak ima sudah dipindahkan ke ruang rawat kandunga. Rupanya dari hasil
pemeriksaan sementara, dia dinyatakan hamil diluar kandungan. Saya lihat
keadaannya semakin lemah, dia tidak hentinya mengerang kesakitan. “Innalillah,
saya benar-benar tidak menyangka ia mengalami penderitaan itu” guma saya dalam
hati.
Kami pun diminta lekas
ke PMI untuk mendapatkan darah, sebab Mbak Ima mulai mengalami pendarahan. Tampa
menunggu lebih lama, saya bersama istri segera menuju PMI. Sesamapainya disana,
saya mulai menyerahkan sampel darah dan surat pengantar dari rumah sakit. hasil
tes dasarahnya menunjukkan bahwa golongan darahnya B. Namun dengan santainya
petugas PMI bilang stok darah sedang habis, kami diminta untuk mendatangkan
keluarga lainnya agar bisa diambil darahnya.
Kami pun mulai
mengontak orang-orang yang memiliki ikatan darah dengan mbak ima, namun
ternyata tak ada satupun dari mereka yang bersedia. Mereka beralasan takut,
entah takut seperti apa yang mereka kawatirkan. Dalam keadaan panik seperti
itu, kami mulai menghubungi beberapa orang yang yang kami kenal memiliki
golongan darah B.
Setelah beberapa kali
mendesak, akhirnya kami mendapatkan satu kantong darah dari PMII. Padahal waktu
itu kami membutuhkan empat kantong darah. Namun apa boleh buat, darah bukanlah
air yang dengan mudah bisa kami dapatkan.
45 menit berlalu,
belum ada satu pendonorpun yang kami dapatkan. Orang-orang terdekat masih juga
enggan mendonorkan darahnya, bahkan untuk tes darah pun mereka enggan, padahal
mereka tahu bahwa mbak Ima dalam keadaan sekarat.
Hasil laboratorium
sudah keluar. Dugaannya benar, mbak ima mengalami kehamilan diluar kandungan.
Melihat kondisinya yang kian lemah, dokter jaga menyarankan agar mbak ima
dirujuk ke RSUD Pamekasan, sebab butuh tindakan lebih intensif. Sementara
disini (RSUD) dokter kandunganya sedang tidak ada, maklum hari itu adalah malam
sabtu, katanya setiap sabtu hingga minggu dokter memang tidak ada. Dan mereka
akan aktif kembali pada hari senin.
Saya tidak mengerti
dengan mikanisme seperti itu. Bagaimana kalau ada pasien yang butuh tingakan
operasi, sementara dokter yang bersangkutan tidak ada? Apa ia harus menunggu
hingga dua sampai tiga hari? Lalu bagaimana kalau keadaannya terus memburuk
lalu berakibat kematian, siapa yang akan bertanggung jawab?
Memang beberapa kali
perawat menjelaskan bahwa anjuran merujuk ke RSUD pamekasan bukan karena ia
pasien jamkesmas, tapi karena memang dokternya sedang tidak ada. Sementara
kondisi mbak ima semakin menurun. Mau dipindahkan ke ICU, ruangnya sedang
penuh. Karena minggu ini, pasien memang membeludak.
Akhirnya dengan segala
pertimbangan, akhirnya kami sepakat untuk merujuk mbak Ima ke RS Esto Ebu agar
segera mendapatkan perawatan intensif. Memang biaya yang dibutuhkan akan jauh
lebih banyak, sebab kartu Jamkesmas tidak berfungsi di rumah sakit swasta.
Malam mulai semakin
larut, jam sudah meniti angka 11 malam. Setibanya di Esto Ebhu mbak segera
mendapatkan pemeriksaan intensif, bahkan dr.
Ipnu selaku pimpinan rumah sakit dan selaku dokter kandunga satu-satung
di rumah sakit itu dibangunkan, sebab kondisi mbak ima memang benar-benar
kritis. Malam itu juga, mereka memberitahukan bahwa mbak ima akan segera
dioperasi, mereka minta tambahan darah menjadi 10 kantong.
Kami kelimpungan, yang
4 kantong saja hanya dapat satu, sekarang kami harus mendapatkan 10 kantong
darah. Kembali lagi mendesak beberapa keluarga terdekat agar mereka bersedia
mendonorkan darahnya, tapi lagi-lagi hanya penolakan dengan alasan takut yang
kami terima. Padahal mereka tahu, kondisi mbak ima sedang kritis dan besar
kemungkinan; bila tidak segera ditangani, akan mengalami kematian.
Untunya ada kak H
(inisial) yang punya kenalan di PMI. 4 bulan lalu ibu mertuanya menjalai
operasi tomur dan butuh darah hingga 12 kantong, dari kenalan itulah darah itu
ia dapatkan. Saya bersama kak H langsung meluncur ke PMI, tak sadar bahwa sama
sekali tidak pegang uang, namun urusan ini sudah sangat membuat kami kelipungan.
Selain prihatin dengan kondisi mbak ima, juca kesal dengan sikap
saudara-saudaranya yang enggan mendonorkan darahnya.
Benar saja,
sesampainya disana kami mendapati orang itu; sebut saja bapak SH, sanggup
mendatangkan pendonor darah golongan B. dengan suara pelan dia berujar “tapi harganya beda ya pak, ya seperti biasa”
Kak H pun langsung
menyanggupinya, namun untuk sementara Kak H minta 4 orang dulu, sebab belum pegang
uang. Tapi keadaan ini sudah mendesak, tidak ada jalan lain yang bisa kami
lakukan. Sejanak bapak SH mengambil handpone miliknya lalu menekan tombol call “butuh darah B 4 kantong, segera ya”,
pembicaraan berakhir.
Jujur saja saya
sedikit tercengang, rupanya ditengah situasi yang makin amburadul ini, makin
banyak saja orang yang “cerdas” mencari peluang bisnis. Dari paparan Kak H,
saya tahu bahwa kami harus membayar sebsar Rp 150.000 untuk masing-masing pendonornya
nanti, harga itu belum biaya cek fisik dan sarana lainya di PMI yang harganya
kisaran 275.000 untuk tiap kantong.
20 menit telah
berlalu, pendonor yang tadi di telpon masih belum juga datang, mungkin masih
dalam perjalanan atau masih sedang makan agar tidak limbung setelah mendonorkan
darahnya. Maklum, ditengah malam yang selarut ini semua orang sudah pasti asyik
dalam mimpinya masing-masing.
Sementara itu, desakan
agar darahnya segera datang terus bermunculan dari pihak RS Esto Ebhu, Untungnya
setelah beberapa kali di desak, suami mbak ima yang awalnya juga ketakutan
mulai pasrah dan bersedia mendonorkan darahnya, ini sangat melegakan. Saya pun
yang diketahui oleh perawat jaga di PMI saat itu memiliki golongan darah B,
diminta untuk ikut mendonor. Padahal baru 2 bulan yang lalu saya mendonorkan
darah, tentu ini menyalahi standart keamanan keselamatan pendonor, yang
menyebutkan hanya setiap tiga bulan sekali dalam setahun. Tapi karena keadaan
mendesak, perawat jaga pun meyakinkan bahwa keadaan saya akan baik-baik saja.
Akhirnya dengan perasaan pasrah dan tawakkal saya bersedia. Alhamdulillah semua
berjalan lancar.
Setelah itu, Kak H
juga meminta istrinya untuk turut menyumbangkan darahnya, meski terlihat
ketakutan, akhirnya juga bersedia. Keadaan ini sedikit menangkan kami. Sudah
ada tiga kantong darah yang tersedia. Bersamaa dengan itu pula, dua orang
pendonor datang. Artinya kami sudah memiliki 5 kantong darah, mungkin jumlah
itu akan cukup hingga besok pagi.
****
Tengah malam sudah
lewat, jam telah menunjuk angka 2 pagi. Kami mulai bisa bernafas lega, kabar
bahwa mbak ima telah selesai dioperasi benar-benar menenangkan kami. 5 kantong
darah pun oleh perawat dirasa cukup untuk besok pagi. Rasanya kami memiliki
waktu sejenak untuk istirahat. .
Berselang 20 menit
saya bersama kak H menemui bapak SH untuk mnyelesaikan “administrasinya” saya
serahkan sejumlah uang sesuai dengan yang ia minta, tak lupa saya ucapkan
terimakasih karena telah mengganggu istirahatnya.
Beginilah memang nasib
orang yang sedang terjepit. Apapun syarat yang diminta akan tetap dipenuhi,
karena hal itu memang sistem yang sudah berjalan masif dan dianggap lumrah.
Dalam tulisan ini saya
tidak akan menyalahkan bapak SH yang meminta sejumlah jasa dalam “penyaluran”
tenaganya menyediakan pendonor, sebab hal itu memang pantas ia dapatkan. Memang
selayaknya kita memberikan tanda jasa bagi mereka yang bersedia “dikurangi”
darahnya demi menyelamatkan orang lain.
Yang saya sayangkan
adalah “ketidaktersediaan” darah di PMI selaku penanggung jawab, semestinya
mereka lebih giat lagi mencari pendonor agar darah senantiasa tersedia.
Saya hanya berharap
situasi tersebut bukan bagian dari sistem terencana oleh orang-orang tertentu .
Saya masih mau berfikir positif bahwa adanya Bapak SH yang setiap malam
bermalam di kantor PMI, murni demi membantu orang lain. Dan atas perannya itu,
sudah selayaknya ia mendapatkan tanda jasa dari tenaga yang ia keluarkan itu.
Suara Qiraat mulai
berkumandang dari beberap masjid terdekat, setelah mengucapkan terimakasih kami
pun beranjak menuju RS Esto Ebhu, rasanya malam ini kami telah melalui berbagai
keadaan yang sulit. Semoga kondisi mbak Ima terus membaik.
Pangong-ngangan,
Madura 12 Mei 2013
Mator Pangestoh
Kisah ini terjadi
beberapa bulan yang lalu, kini mbak Ima sudah bisa beraktivitas seperti sedia
kala, saya menuliskan kisa ini agar ada sesobek catatan mengenai sisi lain dari
“setetes darah anda dapat menyelamatkan
nyawa orang lain”
Catatan:
1. Ta'on : Sebutan jenis penyakit di perut, kata tetua
dusun orang yang sakit jenis ini bisa berakibat kematian bila darah yang beku
tidak dikeluarkan
2.
Bhe’ : bahasa madura (Obhe’)
atau paman.
0 komentar: