Saat Rasa “Iba” Mulai Luntur

Posted by Abd. Warits Ilham  |  at  10.43 No comments




Senja baru saja rebah di ufuk barat, semilir angin menari pelan menyuguhkan aroma tanah yang baru saja membasah diguyur hujan. Sesekali kilat menyambar, menandakan bawah awan gelap masih tersisa di tengah-tengah birunya langit.
Adzan maghrib berkumandang saat saya memasukkan motor ke halaman rumah yang masih tumpah ruah dengan sisa-sisa air hujan. Rasanya, saat ini saya merasa begitu letih setelah seharian penuh menjalankan rutinitas di Kampus, apalagi sepanjang perjalanan Guluk-Guluk ke Gapura tak hentinya diguyur gerimis.
Setelah memarkir motor, lalu membuka jaket dan helm saya pun bergegas menuju dapur, setelah terlebih dulu meletakkan tas di emperan rumah. Saya ingin membasuh wajah yang kuyup ini dengan air hangat, rasanya itu akan sangat membantu menyegarkan kembali tubuh yang penat.
Suasana rumah tampak sepih, ini agak ganjil. Sebab biasanya sore menjelang maghrib ada banyak tetangga maupun keluarga lainnya berkumpul di rumah, tapi hari ini hanya “si neng” (kucing kesayangan saya) yang menyambut kedatagan saya di pintu dapur. Saya tidak menggubris “keongannya” karena wajah saya terasa lengket dengan sisa-sisa air hujan tadi.
Sayangnya tidak sedikitpun air panas yang saya dapatkan di dapur, semuanya kosong. Dengan langkah lelah, saya menuju kamar mandi untuk membasuh wajah, agar sedikit mendapat kesegaran.
Baru keluar dari kamar mandi, saya mendapatkan ibu saya berjalan gontai dari arah barat, tampa saya minta dia menceritakan kondisi salah tetangga saya, sebut saja imah, yang sedang tertidur kesakitan
“loh, bukannya tadi pagi dia masih sibuk menjemur padi” tanya saya keheranan
“sakitnya mendadak, sepertinya taon1 , sekarang sedang di pijak sama bhe’2 sunni-nya” ujarnya
“sekarang bagaimana keadaannya”
“masih kesakitan”

Lalu saya bergegas menjenguknya, rupanya semua tetangga sedang berkumpul disana, begitu pun dengan keluarga saya yang lain. Mbak ima, begitu saya memanggilnya masih mengerah kesakitan. Kedua tangannya dipegangi agar bisa membantunya menahan sakit akibat pijatan itu. Proses pemijatan telah sampai disekitar perut bagian bawahnya, kata sebagian tetangga yang sedang berbincang, proses pemijatan itu harus selesai hingga ujung kaki, agar “penyakitnya” turun dan keluar dari ujung kaki. Karena bila penyakit itu sampai di ubun-ubun penderita bisa mengalami kematian.
Setelah sekitar 15 menit dipijat, keadaannya tampak membaik. Meski air mukanya masih menyiratkan sedang menahan sakit. Sejenak saya perhatikan ia tampak begitu lelah, wajahnya pucat dan nafasnya tersenggal-senggal. Saya tak sanggup membayangkan bagaiama rasa sakitnya.
Gelap mulai pekat pertanda malam mulai larut. Setelah selesai shalat maghrib saya kembali menjenguk mbak Ima, rupanya penyakitnya kambuh lagi. Kali ini lebih parah, bahkan beberapa kali ia mengerang lebih keras karena menahan sakit. Bahkan katanya, mbak Ima sempat tidak sadarkan diri.
Akhirnya setelah beberapa menit keadaan Mbak Ima masih belum juga membaik, pihak keluarga memutuskan untuk dibawa rumah sakit, awalnya akan dibawa ke puskesmas saja, sebab bila dirwat ke RSUD dr. Soetomo Sumenep tentu biayanya akan sangat mahal. Apalagi mbak Ima bukanlah orang berada, suaminya tidak mempunyai kerja tetap, ia hanya memelihara beberapa jenis burung dan ayam yang selama ini dijadikannya sumber penghidupan.
Namun tiba-tiba, sebuah teriakan nyaring terengar, rupanya Mbak Ima kembali tak sadarkan diri. Orang-orang mulai panik, untungnya bersamaan dengan itu mobil pick up yang akan membawanya ke puskesmas datang. Awalnya beberapa orang tampak ragu, kawatir Mbak Ima tak mampu bertahan dalam perjalanan, namun suami mbak Ima meyakinkan bahwa dia harus dibawa ke rumah sakit.
Melihat kondisi mbak ima yang semakin lemah, akhirnya diputuskan agar ia dibawa ke RSUD saja. Sebab ketika sampai di puskesmas, tentunya akan dirujuk ke RSUD juga. Semua pihak pun sepakat, membawa mbak ima ke RSUD. Apalagi mbak ima punya kartu Jamkesmas, tentu akan membantu meringankan biaya pengobatannya.
Begitulah kehidupan di desa, sekecil apapun masalahnya harus dibicarakan pada semua tantaretan. Jika tidak, pihak yang tidak diikut sertakan berembuk akan tersinggung. Memang kehidupan desa memiliki keunikan tersendiri.
Perjalanan menuju RSUD yang berjarak kurang lebih 17 KM terasa sangat lama, padahal dalam waktu normal hanya butuh waktu sekitar 25 menit. Tapi perjalanan kali ini rasanya sudah berjam-jam. Lantunan kalimat istighfar dan shalawat tak henti-hentinya terdengar, memohon pada Tuhan agar mbak Ima diberikan kekuatan untuk bertahan dan mendapatkan kesembuhan.
Setibanya di RSUD, mbak ima langsung dilarikan ke UGD. Dia pun langsung mendapatkan perawatan intensif, sementara saya sedang mengurus adiministrasinya di loket. Alhamdulillah tidak ada hambatan dalam proses registrasinya sebagaimana yang saya kawatirkan.
Setelah registrasi, saya beranjak menuju UGD. Mbak ima sudah mulai sadar, namun keadaannya belum berubah.
“Keluarga ny. Ima” terdengar panggilan seorang perawat
Istri saya segera menghampiri panggilan itu, rupanya resep obat yang harus ditebus sudah selesai di susun. Kami pun segera berlarian menuju apotik yang terletak di penghujung barat kompleks rumah sakit untuk menebus obat, sialnya ada sekitar tujuh orang yang sedang antri. Keadaan ini sedikit menggelisahkan. Namun kami tidak punya pilihan lain, menuju apotik lain tentu akan menghabiskan waktu lebih banyak.
Tampa terasa 15 menit berlalu. Mbak ima sudah dipindahkan ke ruang rawat kandunga. Rupanya dari hasil pemeriksaan sementara, dia dinyatakan hamil diluar kandungan. Saya lihat keadaannya semakin lemah, dia tidak hentinya mengerang kesakitan. “Innalillah, saya benar-benar tidak menyangka ia mengalami penderitaan itu” guma saya dalam hati.

Kami pun diminta lekas ke PMI untuk mendapatkan darah, sebab Mbak Ima mulai mengalami pendarahan. Tampa menunggu lebih lama, saya bersama istri segera menuju PMI. Sesamapainya disana, saya mulai menyerahkan sampel darah dan surat pengantar dari rumah sakit. hasil tes dasarahnya menunjukkan bahwa golongan darahnya B. Namun dengan santainya petugas PMI bilang stok darah sedang habis, kami diminta untuk mendatangkan keluarga lainnya agar bisa diambil darahnya.


Kami pun mulai mengontak orang-orang yang memiliki ikatan darah dengan mbak ima, namun ternyata tak ada satupun dari mereka yang bersedia. Mereka beralasan takut, entah takut seperti apa yang mereka kawatirkan. Dalam keadaan panik seperti itu, kami mulai menghubungi beberapa orang yang yang kami kenal memiliki golongan darah B.
Setelah beberapa kali mendesak, akhirnya kami mendapatkan satu kantong darah dari PMII. Padahal waktu itu kami membutuhkan empat kantong darah. Namun apa boleh buat, darah bukanlah air yang dengan mudah bisa kami dapatkan.
45 menit berlalu, belum ada satu pendonorpun yang kami dapatkan. Orang-orang terdekat masih juga enggan mendonorkan darahnya, bahkan untuk tes darah pun mereka enggan, padahal mereka tahu bahwa mbak Ima dalam keadaan sekarat.
Hasil laboratorium sudah keluar. Dugaannya benar, mbak ima mengalami kehamilan diluar kandungan. Melihat kondisinya yang kian lemah, dokter jaga menyarankan agar mbak ima dirujuk ke RSUD Pamekasan, sebab butuh tindakan lebih intensif. Sementara disini (RSUD) dokter kandunganya sedang tidak ada, maklum hari itu adalah malam sabtu, katanya setiap sabtu hingga minggu dokter memang tidak ada. Dan mereka akan aktif kembali pada hari senin.
Saya tidak mengerti dengan mikanisme seperti itu. Bagaimana kalau ada pasien yang butuh tingakan operasi, sementara dokter yang bersangkutan tidak ada? Apa ia harus menunggu hingga dua sampai tiga hari? Lalu bagaimana kalau keadaannya terus memburuk lalu berakibat kematian, siapa yang akan bertanggung jawab?
Memang beberapa kali perawat menjelaskan bahwa anjuran merujuk ke RSUD pamekasan bukan karena ia pasien jamkesmas, tapi karena memang dokternya sedang tidak ada. Sementara kondisi mbak ima semakin menurun. Mau dipindahkan ke ICU, ruangnya sedang penuh. Karena minggu ini, pasien memang membeludak.
Akhirnya dengan segala pertimbangan, akhirnya kami sepakat untuk merujuk mbak Ima ke RS Esto Ebu agar segera mendapatkan perawatan intensif. Memang biaya yang dibutuhkan akan jauh lebih banyak, sebab kartu Jamkesmas tidak berfungsi di rumah sakit swasta.
Malam mulai semakin larut, jam sudah meniti angka 11 malam. Setibanya di Esto Ebhu mbak segera mendapatkan pemeriksaan intensif, bahkan dr.  Ipnu selaku pimpinan rumah sakit dan selaku dokter kandunga satu-satung di rumah sakit itu dibangunkan, sebab kondisi mbak ima memang benar-benar kritis. Malam itu juga, mereka memberitahukan bahwa mbak ima akan segera dioperasi, mereka minta tambahan darah menjadi 10 kantong.
Kami kelimpungan, yang 4 kantong saja hanya dapat satu, sekarang kami harus mendapatkan 10 kantong darah. Kembali lagi mendesak beberapa keluarga terdekat agar mereka bersedia mendonorkan darahnya, tapi lagi-lagi hanya penolakan dengan alasan takut yang kami terima. Padahal mereka tahu, kondisi mbak ima sedang kritis dan besar kemungkinan; bila tidak segera ditangani, akan mengalami kematian.
Untunya ada kak H (inisial) yang punya kenalan di PMI. 4 bulan lalu ibu mertuanya menjalai operasi tomur dan butuh darah hingga 12 kantong, dari kenalan itulah darah itu ia dapatkan. Saya bersama kak H langsung meluncur ke PMI, tak sadar bahwa sama sekali tidak pegang uang, namun urusan ini sudah sangat membuat kami kelipungan. Selain prihatin dengan kondisi mbak ima, juca kesal dengan sikap saudara-saudaranya yang enggan mendonorkan darahnya.
Benar saja, sesampainya disana kami mendapati orang itu; sebut saja bapak SH, sanggup mendatangkan pendonor darah golongan B. dengan suara pelan dia berujar “tapi harganya beda ya pak, ya seperti biasa
Kak H pun langsung menyanggupinya, namun untuk sementara Kak H minta 4 orang dulu, sebab belum pegang uang. Tapi keadaan ini sudah mendesak, tidak ada jalan lain yang bisa kami lakukan. Sejanak bapak SH mengambil handpone miliknya lalu menekan tombol call “butuh darah B 4 kantong, segera ya”, pembicaraan berakhir.
Jujur saja saya sedikit tercengang, rupanya ditengah situasi yang makin amburadul ini, makin banyak saja orang yang “cerdas” mencari peluang bisnis. Dari paparan Kak H, saya tahu bahwa kami harus membayar sebsar Rp 150.000 untuk masing-masing pendonornya nanti, harga itu belum biaya cek fisik dan sarana lainya di PMI yang harganya kisaran 275.000 untuk tiap kantong.
20 menit telah berlalu, pendonor yang tadi di telpon masih belum juga datang, mungkin masih dalam perjalanan atau masih sedang makan agar tidak limbung setelah mendonorkan darahnya. Maklum, ditengah malam yang selarut ini semua orang sudah pasti asyik dalam mimpinya masing-masing.
Sementara itu, desakan agar darahnya segera datang terus bermunculan dari pihak RS Esto Ebhu, Untungnya setelah beberapa kali di desak, suami mbak ima yang awalnya juga ketakutan mulai pasrah dan bersedia mendonorkan darahnya, ini sangat melegakan. Saya pun yang diketahui oleh perawat jaga di PMI saat itu memiliki golongan darah B, diminta untuk ikut mendonor. Padahal baru 2 bulan yang lalu saya mendonorkan darah, tentu ini menyalahi standart keamanan keselamatan pendonor, yang menyebutkan hanya setiap tiga bulan sekali dalam setahun. Tapi karena keadaan mendesak, perawat jaga pun meyakinkan bahwa keadaan saya akan baik-baik saja. Akhirnya dengan perasaan pasrah dan tawakkal saya bersedia. Alhamdulillah semua berjalan lancar.
Setelah itu, Kak H juga meminta istrinya untuk turut menyumbangkan darahnya, meski terlihat ketakutan, akhirnya juga bersedia. Keadaan ini sedikit menangkan kami. Sudah ada tiga kantong darah yang tersedia. Bersamaa dengan itu pula, dua orang pendonor datang. Artinya kami sudah memiliki 5 kantong darah, mungkin jumlah itu akan cukup hingga besok pagi.
****
Tengah malam sudah lewat, jam telah menunjuk angka 2 pagi. Kami mulai bisa bernafas lega, kabar bahwa mbak ima telah selesai dioperasi benar-benar menenangkan kami. 5 kantong darah pun oleh perawat dirasa cukup untuk besok pagi. Rasanya kami memiliki waktu sejenak untuk istirahat. .

Berselang 20 menit saya bersama kak H menemui bapak SH untuk mnyelesaikan “administrasinya” saya serahkan sejumlah uang sesuai dengan yang ia minta, tak lupa saya ucapkan terimakasih karena telah mengganggu istirahatnya.
Beginilah memang nasib orang yang sedang terjepit. Apapun syarat yang diminta akan tetap dipenuhi, karena hal itu memang sistem yang sudah berjalan masif dan dianggap lumrah.
Dalam tulisan ini saya tidak akan menyalahkan bapak SH yang meminta sejumlah jasa dalam “penyaluran” tenaganya menyediakan pendonor, sebab hal itu memang pantas ia dapatkan. Memang selayaknya kita memberikan tanda jasa bagi mereka yang bersedia “dikurangi” darahnya demi menyelamatkan orang lain.
Yang saya sayangkan adalah “ketidaktersediaan” darah di PMI selaku penanggung jawab, semestinya mereka lebih giat lagi mencari pendonor agar darah senantiasa tersedia.
Saya hanya berharap situasi tersebut bukan bagian dari sistem terencana oleh orang-orang tertentu . Saya masih mau berfikir positif bahwa adanya Bapak SH yang setiap malam bermalam di kantor PMI, murni demi membantu orang lain. Dan atas perannya itu, sudah selayaknya ia mendapatkan tanda jasa dari tenaga yang ia keluarkan itu.
Suara Qiraat mulai berkumandang dari beberap masjid terdekat, setelah mengucapkan terimakasih kami pun beranjak menuju RS Esto Ebhu, rasanya malam ini kami telah melalui berbagai keadaan yang sulit. Semoga kondisi mbak Ima terus membaik.

Pangong-ngangan, Madura 12 Mei 2013
Mator Pangestoh

Kisah ini terjadi beberapa bulan yang lalu, kini mbak Ima sudah bisa beraktivitas seperti sedia kala, saya menuliskan kisa ini agar ada sesobek catatan mengenai sisi lain dari “setetes darah anda dapat menyelamatkan nyawa orang lain

Catatan:
1.      Ta'on : Sebutan jenis penyakit di perut, kata tetua dusun orang yang sakit jenis ini bisa berakibat kematian bila darah yang beku tidak dikeluarkan
2.         Bhe’   : bahasa madura (Obhe’) atau paman.

Arits Ilham

Orang sederhana, cenderung merasa kekurangan, tidak pernah puas dengan proses belajar yang telah dilakukanya. Baginya, tidak ada kata berhenti untuk sebuah pembelajaran, salah satu konsep hidupnya, belajar terus menerus meski berulang kali mengantarkannya pada kesalahan dan kekalahan. Tekadnya, berupaya memberikan senyum kesejukan pada orang lain.

Langganan

Jika ingin berlangganan tulisan di blog ini, silahkan pasang email Anda di kolom berikut

Bagikan ke

Tulisan Terkait

0 komentar:

Pengikut

Copyright © 2013 Pengintai Senja. WP Theme-junkie converted by BloggerTheme9
Blogger template. Proudly Powered by Blogger.
back to top