Tersingkir sejak dalam Kandungan

Posted by Abd. Warits Ilham  |  at  14.35 No comments


Saat ini tepat usia 22 minggu kandungan istri saya, secara teori anatomi calon anak saya sudah bisa keliatan secara maksimal melalaui pemeriksaan USG. Karena itu, beberapa malam yang lalu atas inisiatif istri, dan dengan perasan campur aduk akhirnya kita mendatangi RSB Estho Ebhu untuk melakukan pemeriksaan itu.
Saya tidak tahu apakah keputusan itu tepat atau tidak, saya pun tidak paham apa motivasi terdalam kami untuk melakukan USG. Hanya saja kebetulan malam itu kita lewat depan Esto Ebhu dan langsung terlintas pikiran untuk USG kita pun langsung masuk aja.
Setelah menunggu beberapa puluh menit, penantian panjang yang juga membuat istri saya kelaparan sampai mengeluarkan keringat dingin, sebab tak kuat menahan rasa lapar yang begitu kuat; katanya itu bawaan bayi yang memang tidak bisa menahan lapar, tiba juga giliran kami diperiksa. Jujur saat itu ada perasaan kawatir jika nantinya dokter mengatakan bahwa calon anak saya tidak sehat.
Jika masih bisa mundur, mending ditunda aja USG-nya. Tapi melihat istri yang begitu antusiasnya untuk melakukan USG saya pun tak bisa menghalanginya. Keinginanya yang begitu kuat untuk melihat calon bayi yang sedang ia kandung akhirnya meluluhkan beberapa kekawatiran yang sempat menghinggapi perasaan saya malam itu.
Untung atau malang, ternyata alat USG 3D yang selama ini menjadi andalan RSB Estho Ebhu sedang mengalami gangguan sehingga tidak bisa dioprasikan. Dan pemeriksaan kali ini hanya menggunakan USG 2D, hingga gambar yang di tampilkan tidak begitu detail. Tapi meski begitu masih bisa digunakan untuk mendeteksi anatomi tubuh bayi dalam kandungan seseorang.
Dengan perasaan yang tak menentu, kami menunggu analisis dokter Ibnu, pemilik sekaligus dokter kandungan utama di RSB tersebut. Alhamdulillah, berdasarkan hasil USG tersebut tidak ada kelainan apa pun terhadap anak saya tersebut. Puji syukur pun terlontar tanpa perlu diminta, ada perasaan lega yang perlahan menyusup dalam pikiran dan bermuara dalam hati menjadi ketenangan. Saya merasa bahwa rahmat dan kasih sayang Tuhan begitu nyata dalam kehidupan ini.
Pemeriksaan berlanjut untuk menguatkan hasil analisis sebelumnya, dan hasilnya tidak ada perbedaan. Hanya saja, ketika kami menanyakan jenis kelamin anak kami, dr Ibnu belum bisa memastikan. Selain keadaan bayi dalam keadaan fase tidur hingga ia tidak bergerak, alat 2D memang tidak bisa memberikan penilaian maksimaldalam menentukan jenis kelamin. dr Ibnu berjanji akan segera menghubungi kami saat alat USG 3D-nya bisa dioperasikan. Akhirnya dengan perasaan lega; meski masih penasaran dengan jenis kelamin anak kami, akhirnya kami bertolak dari RSB Esto Ebhu.

Laki-laki dan Harapan Keluarga
Bagi saya, jenis kelamin apa pun nantinya anak kami tidak ada masalah. Sebab ia tetap merupakan titipan Ilahi untuk kita didik, kita latih menjadi seorang hamba yang berbakti terhadap agama dan bangsanya. Menjadi sosok yang mampu memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Laki-laki atau perempuan, orang tua tetap berkewajiban memberikan perhatian dan kasih sayang yang sama bagi keduanya.
Tapi rupanya bagi  kedua orang tua kami, hal itu bukanlah persoalan sederhana. Adanya persepsi bahwa laki-laki adalah pelindung bagi perempuan cukup memberikan pengaruh bagi mereka. Ini kami simpulkan dari tanggapan mereka saat menanyakan hasil pemerikasaan USG yang kami lakukan. “ye dhina mun gi’ tak etemu, mandher lalake’a bhei” ujar mereka penuh harap (semoga anaknya laki-laki).
Awalnya, saya menanggapi dengan santai ungkapan tersebut. Tapi rupanya tidak dengan istri saya. Ia mulai kawatir jika kelak anak kami lahir berjenis kelamin perempuan lalu menjadi orang yang “tersisihkan” dalam keluarga besar kami. Apalagi beberapa ponaan dan cucu yang dilahirkan dalam keluarga kami beberapa waktu lalu semua berjenis kelamin laki-laki.
Kekawatiran itu semakin mencuat ketika keesokan harinya pihak RSB Estho Ibhu menelpon kami guna mengabarkan bahwa USG 3D sudah bisa dioperasikan dengan baik. Maka pada malam itu juga, tepat jam 20.00 Wib kami menuju RSB untuk kembali melakukan USG.
Hasil pemeriksaan tidak jauh berbeda, bahkan dari analisis sementara sangat dimungkinkan istri saya bisa melahirkan secara normal. Saya semakin semangat untuk terus berdoa agar ia diberikan kemudahan dalam proses kelahirannya nanti.
Diakhir pemeriksaan, kami kembali menanyakan  jenis kelamin anak kami. Sayangnya meski kali ini menggunakan alat yang lebih canggih, tapi jenis kelamin anak kami belum bisa terekam dengan baik sebab terhalang tali pusat di perutnya. “Namun sepertinya anak kalian perempuan, hanya saja saya tidak berani memastikan” ungkap lirih dr Ibnu sambil berusaha mencari celah untuk melihat dengan jelas jenis kelamin anak kami tersebut lebih detail. Tak ada ekspresi apa pun dalam benak saya mendengar kabar itu, sebab bagi saya jenis kelamin itu tidak penting. Yang terpenting adalah anak kami yang masih dalam kandungan itu bisa lahir dengan selamat, sehat dan sempurna tampa kekurangan apa pun.

Kekawatiran yang mulai Mengganggu
Sesampainya dirumah, kami mulai diberondong dengan pertanyaan mengenai kepastian tentang jenis kelamin. Kami ceritakan bahwa analisa sementara kemungkinan perempuan, meski belum ada kepastian karena terhalang dengan tali pusatnya.
Rupanya kabar ini cukup memberikan “sedikit” kekecewaan bagi kedua orang tua kami. Saat itulah saya baru sadar bahwa mereka menginginkan cucu yang pertama lahir ditengah-tengah kami adalah laki-laki. Pertimbangan mereka memang cukup jelas, dengan lahirnya anak pertama berjenis kelamin laki-laki akan sedikit menghemat pembiayaan. Sebab kata mereka, dengan lahirnya anak laki-laki ia tidak perlu memakai giwang, gelang dan cincin dari emas.
Selain itu memang, ada salah satu tradisi masyarakat madura yang berlaku bagi anak perempuan, yaitu pernikahan dini. Bagi anak perempuan, pernikahan menjadi sesuatu yang vital. Jika sampai lulus S1 tapi belum menemukan jodoh juga, maka ia akan menjadi perbincangan. Bahkan di beberapa desa, lulus MA/SMA saja tapi tidak ada yang melamar sudah akan menjadi pergunjingan masayarakat sebagai perawan yang tidak laku. Dan tradisi pertunangan apalagi pernikahan tidak pernah mengenal kata sederhana bagi masyarakat Madura. Jutaan rupiah akan pasti dihabiskan untuk mengadakan “slametan” atau peresmian sebuah ikatan diantara kegua keluarga tersebut. Awalnya kami menganggap bahwa kekawatiran kedua orang tua kami jika kelak lahir anak pertama perempuan adalah di pernikah dini tersebut. Tapi ternyata tidak sesederhana itu.
Pertimbangan mereka memang masuk akal, sebab saat ini saya sedang kuliah pasca di UIN Malang dan itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit, apalagi dengan kondisi kesibukan saya yang mengharuskan bolak-balik Madura-Malang setiap minggu. Namun sepertinya itu hanya salah satu faktor saja, sementara faktor utama tetap menjadi bagian dari bias Gender yang beranggapan bahwa laki-laki lebih baik dari perempuan yang selama ini masih diyakini oleh sebagian mayoritas masyarakat. Kelahiran anak laki-laki sebagai anak pertama akan membawa kebanggaan tersendiri bagi sebuah keluarga.
Menghadapi kenyataan ini, saya mulai berpikir ulang tentang kehidupan perempuan yang selama ini senantiasa tersisih hampir dalam semua lini kehidupannya. Keberadaan mereka tak ubahnya sebagai pelengkap saja, dan harus senantiasa bersiap diri menjadi golongan kedua. Bahkan untuk menjadi bagian dari sebuah keluarga pun, ia harus rela lahir sebagai anak kedua.
Saya tidak tahu pasti bagaimana pikiran itu “mengendap” di tengah-tengah masyarakat, utamanya di Madura. Yang jelas, begitu banyak calon ibu, ayah dan juga kakek-nenek yang mengharapkan cucu pertamanya lahir dengan jenis kelamin laki-laki. Padahal, jenis kelamin tersebut tak bisa direkayasa. Ia ibarat pohon buah yang hanya bisa kita tanam, tapi tidak bisa kita tentukan dapat berbuah lebat atau tidak. Kita tak pernah bisa memilih mau lahir sebagai perempuan atau laki, pun megenai urutan dan waktu kelahiran kita dalam dunia ini.
Situasi ini mulai menghawatirkan saya, bukan takut anak saya kelak akan kekurangan perhatian. Tapi justru kawatir terhadap masa depan nasib kaum perempuan. Jika sejak dalam kandungan saja mereka mulai tersisihkan, dan selalu diharapkan lahir sebagai anak kedua, lalu bagaimana dalam proses kehidupan nyata? Bisakah mereka tampil dan berkreasi secara bebas sebagaimana lelaki? Bisakah mereka tampil sebagai pemimpin yang dihargai dan dihormati layaknya lelaki? Atau selamanaya mereka harus selalu siap menjadi golongan kedua.
Menghadapi situasi ini, saya tidak bisa berbuat banyak. Kecuali berkomitmen untuk tidak pernah membedakan perhatian dan kasih sayang bagi anak perempuan maupun lelaki. Mereka harus bisa saya antarkan untuk meraih impian dan cita-cita sesuai dengan potensi yang mereka miliki. Saya tidak akan menjadikan anak saya; jika kelak lahir sebagai perempuan, seorang laki-laki yang harus tegar, kuat, dan tegap. Saya akan menjadikan ia sebagai anak perempuan manja, riang, cerdas dan kreatif. Perempuan yang hebat dengan kreativitas dan keilmuannya, perempuan yang manja tapi cerdas merumuskan solusi untuk setiap persoalan, perempuan yang tangguh tapi tetap menghormati laki-laki sebagai suaminya, perempuan yang hebat tapi tak perlu “menaklukkan” laki-laki.
Jangan pernah kawatir bidadari kecilku, berproseslah dengan matang dalam kandungan ibumu, pahamilah bahasa Tuhan yang sedang kau dengarkan tiap waktu. Kelahiranmu akan selalu ayah tunggu, dengan tangan lebar dan senyum kebahagian. Tak akan pernah aku biarkan kau “menderita” hanya karena engkau perempuan.


Malang, Kota Batu 17 September 2013

Arits Ilham

Orang sederhana, cenderung merasa kekurangan, tidak pernah puas dengan proses belajar yang telah dilakukanya. Baginya, tidak ada kata berhenti untuk sebuah pembelajaran, salah satu konsep hidupnya, belajar terus menerus meski berulang kali mengantarkannya pada kesalahan dan kekalahan. Tekadnya, berupaya memberikan senyum kesejukan pada orang lain.

Langganan

Jika ingin berlangganan tulisan di blog ini, silahkan pasang email Anda di kolom berikut

Bagikan ke

Tulisan Terkait

0 komentar:

Pengikut

Copyright © 2013 Pengintai Senja. WP Theme-junkie converted by BloggerTheme9
Blogger template. Proudly Powered by Blogger.
back to top