Negeri Bingung-Membingungkan

Posted by Abd. Warits Ilham  |  at  11.33 No comments

Oleh: A. Warits Ilham

Raganya Indonesia
Tetapi jiwanya tidak lagi Nusantara
Satu kelompok berkuasa
Sisanya penganya saja
Sebagian kecil kelompok kaya
Sisanya menanggung derita
Bubarkan Indonesia
Bebaskan Nusantara
Bentuk negara Kelima (Es Ito; Negara Kelima)

Cuplikan novel tersebut begitu menarik untuk kita kaji. Bahasanya sederhana, namun begitu menggungah, menusuk hati kita; rakyat indonesia. Baris pertama, seakan mengatakan bahwa negara kita yang lahir dari "perut Nusantara", tapi sama sekali tidak memiliki karakter dan berjiwa Nusantara. Kepedulian diantara sesama, semangat persatuan, dan persaudaran yang dulunya menjadi karakter masyarakat Nusantara sudah mulai mengikis. Tiba-tiba, kita menjelma menjadi manusia serakah, menutup mata demi meraih kesuksesan pribadi.
Namun begitu, kita tidak bisa serta merta menyalahkan orang yang bersikap acuh pada lingkungan sosial sekitarnya, sebab mereka telah bosan hidup melarat, dan mereka ingin memperoleh kenyamanan hidup yang selama ini hanya menjadi mimpi. Semenjak ratusan tahun silam, masyarakat negeri ini telah ditindas oleh penjajah, dan juga oleh para penguasa yang menggadaikan rakyat untuk kenyamanan hidup keluarganya.
Nasib "melarat" itulah, secara perlahan mengikis rasa kepedulian, persaudaran, dan persatuan diantara masyarakat kita. Mereka yang hanya mampu mempertahankan hidup dirinya sendiri, secara perlahan "mebunuh" rasa belas kasihan pada orang lain, demi memberi makan anak-cucunya. Sebab, ketika rasa "welas asih" pada sesama itu masih tumbuh sempurna, maka ia dan keluarganya tidak bisa bertahan hidup, sebab jatah makan yang diperolehnya hanya cukup untuk diri dan keluarganya.
Tanpaknya, hal seperti di atas terwariskan dengan sempurna pada generasi hari ini. Karena itu, semenjak kemerdekaan kita raih, setelah lebih sepuluh tahun reformasi dikumadangkan, kesejateraan yang merata tidak pernah bisa diwujudkan. Keadaan mayoritas masyarakat kita tidak jauh berbeda dengan masa-masa "kepedihan" sebelum kemerdekaan ini kita genggam. Hanya sebagian kecil yang bisa hidup tenang, dengan persedian harta yang lebih dari cukup, dan meraka diakui atau tidak tetap menutup mata; menyingkirkan yang lemah, untuk mengumpulkan lebih banyak lagi "pundi-pundi kesejahteraan" tanpa harus berpikir tindakan tersebut baik atau tidak menurut hati nurani.
Karenanya, keinginan untuk menyejahterakan keluarga dan golongan tetap dijadikan prioritas utama, oleh orang-orang yang telah mampu memanfaatkan kesempatan untuk menjadi orang "sejahtera" dengan sempurna, hingga golongan ini (terutama para aparat pemerintahan) benar-benar bisa menikmati kehidupan sejahteranya; membangun rumah mewah, mengoleksi mobil-mobil bergengsi, serta mengumpulkan emas dan berlian berkilau. Satu tradisi hidup yang benar-benar bisa mewakili kata “sejathera”. Tapi demikian, bukan berarti mereka berhenti disitu saja, “tanda-tanda” kesejahteraan tersebut masih belumlah cukup untuk memuaskan hasratnya meraih kesejahteraan jenis lainnya.
Mungkin, ratusan tahun hidup melarat telah menyebabkan mereka; orang-orang "berdaya" di negeri ini lupa pada standart kehidupan sejahtera dalam bingkai sederhana. Sehingga seluruh tenaga dan waktunya hanya digunakan untuk menyejahterakan keluarga dan golongannya, sehingga; karena masih merasa kekurangan, ia tidak merasa bersalah ketika “melupakan” orang lain yang membutuhkan kesejahteraan seperti dirinya. Bahkan, mereka merasa sah-sah saja ketika mengambil hak orang lain, ketika si pemilik haktersebut dalam keadaan lengah.
Dan hari ini, ketika bendera Demokrasi berkibar gagah, ketika kesempatan untuk berkreasi terbuka lebar, setiap orang lalu merasa berhak untuk melakukan apapun demi meraih kejayaan itu. Karenanya, sangat sulit hari ini kita temukan orang-orang yang peduli pada kehidupan sesamanya. Mereka hanya disibukkan dengan keinginan untuk mencapai kesejahteraan pribadinya masing-masing. Karena itu pulalah kita melihat moralitas negeri ini kacau balau. Mulai dari pendidikan, politik, agama, dan sosial budaya mengalami masalah serius dan sangat sulit untuk diselesaikan.
Akibat dari rasa kebosanan itu pulalah kita lalu disibukkan dengan prilaku korupsi berjamaah. Tak lumrah rasanya saat melakukan sesuatu tidak diikuti dengan "sedekah" antara satu sama lain. Dan begiu pula tidak lumrah juga ketika ada kucuran dana pembangunan dari pemerintah lalu tidak memberi sekedar “upeti” pada atasan yang telah meletakkan nama; lembaga kita, ketika dana tersebut turun.
Kita pun tidak mampu lagi mengukur sejauh mana kekacauan yang terjadi di negeri ini, yang jelas seperti seringkali diucapkan teman-teman kampus "hanya revolusi yang bisa menyelesaikan persoalan negeri ini". Tentu yang mereka maksudkan bukan jenis revolusi di "rubrik" media saja; revolusi sekedar pergantian sistem secara cepat, namun pelaku tetap orang "itu-itu saja", tapi lebih pada revolusi moral, menumbuhkan hati kita lebih baik, dan lebih peduli pada nasib orang lain di sekitar kita.

Korupsi; Akar Kesemrautan
Dalam satu kesempatan, Almarhum Gus Dur berkata kenapa kita ini menjadi negara paling miskin, padahal kekayaan alam kita begitu melimpah? Jawab beliau sederhana, karena koruptor tidak pernah ditindak, mereka dibiarkan saja menguras harta negara kita semaunya, dan membiarkan masyarakat kita tetap miskin. Hal senada juga disingung dalam rentetan dialog di film Alangkah Lucunya Negeri Ini "kalian terganggu dengan ulah pengemis dan pengasong, tapi tidak terganggu dengan ulah para koruptor yang memiskan kalian".
Miris rasanya bila kita mengingat keadaan negeri ini, korupsi telah menjadi bagian dari hari-hari kehidupan kita sehingga kita sama sekali tidak merasa risih dengan mereka.
Seorang teman pernah berkata ketika saya hendak mengantarkannya untuk minta tanda tangan berkaitan dengan validasi data, kebetulan saat itu kami sedang melakukan penelitian, “berapa kita akan memberi uang pada bapak kades?” spntan saya menjawab “untuk apa”, sambil tersebyum dia menjawab “ucapan terimakasih”
Sebegitu rumitkan persoalan korupsi di negeri ini? Sehingga sesuatu yang tidak pantas pun dianggap pantas dan riskan bila tidak dilaksanakan? Bila kita bayangkan sebuah tanda tangan kepala desa untuk validasi data memang menjadi tugasnya, tapi kita seakan merasa tidak enak hati bila tidak memberi uang.
Pernah sekali saya berkunjung ke sebuah kantor administrasi, saat itu sedang rame-ramenya orang melamar CPNS. Ternyata saat itu sedang berjejer orang-orang yang antre untuk melegalisir salah satu persyaratan yang harus dilampirkan dalam pendaftaran tersebut. Selentingan saya dengar ucapan “ada uang adiministrasinya mas” lantas orang yang bersangkutan bertanya “berapa” penjaga loket menjawab “seikhlasnya”.
Sejenak saya merenung, sejak kapan pungutan resmi adminidrasi menjadi “seikhlasnya” bukankah kalau hal tersebut benar-benar rersmi mestinya termaktub dam tata tertib pelayanan administrasi kantor tersebut. Saya pun menjadi semakin bingung dengan keadaan ini.
Pernah juga saya mendapatkan SMS dari seorang sahabat, isinya mengatakan bahwa ada lowongan pengajuan bantuan penggandaan buku untuk perpustakaan, jumlah 100 juta. Tapi hal itu akan mendapat potongan 25 juta. Kalau berminat, silahkan buat proposalnya. Spontan saya kaget, meski saya; waktu membaca sms itu, tidak begitu yakin itu serius, tapi saya kemudian berpikir untuk meningkatkan sarana meningkatkan anak didik saja kita masih maen potongan. Kapan generasi negeri ini akan pinter?
Tanpaknya, hari ini kita benar-benar dihadapkan pada situasi korupsi berjamaah, tak lumrah rasanya memberikan pelayanan apapun tanpa meminta “upeti” hingga seorang tetangga saya berkata ketika ada seseorang yang akan meminjam KTP suaminya untuk membayar pajak bermotor “dasar orang tak tahu diri, gak tahu terimakasih, pinjam ktp orang berhari-hari tapi tak ngasih apa-apa”. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala mendengarnya.
Kita juga dapat menyaksikan, setiap kali ada even pemilihan ketua baru sebuah organisasi tidak pernah lepas dari “upeti”. Karena itu seringkali, orang berpotensi tapi tidak beruang, dikalahkan oleh orang-orang tak berkualitas karena ia berkantong tebal. Apalagi pada even pemilihan umum, uang pelicin tanpaknya sudah menjadi bagian resmi yang tidak bisa terpisahkan, hingga seorang tokoh masyarakat pernah berkata “sebaik apapun orang tersebut, pinter, cerdas dan memiliki kapabilitas yang tinggi, tapi kalau ia kikir; tidak ngasih uang, maka ia tidak akan dipilih oleh masyarakat”. Entah kapan semua ini akan berakhir?
Rasanya tidak ada harapan lagi negeri ini terbebas dari korupsi, karena seringkali kita lihat tokoh-tokoh yang serius melakukan gerakan pemberantasa koruptor, selalu berakhir derita. Mungkinkah semua ini efek karena terlalu lama kita dibuat miskin dan kekurangan oleh penjajah, atau ada sebab lainnya?
Karena itu, kekayaan kita yang melimpah ruah ini tidak pernah memberikan efek positif bagi negeri ini. Jangan bilang itu efek dari lemahnya SDM masyarakat kita, tapi hal tersebut merupakan efek dari virus korupsi yang tidak pernah terselesaikan. Lalu, akankah kita marah bila marah pada orang-orang yang merindukan adanya perombakan sistem pemerintahan ini? (wallahu a’lam)

*. Semoga tulisan ini tidak terkesan mendukung Negara Islam, hanya ingin mengatakan bahwa terlalu banyak orang yang bosan dengan kebobrokan negara tercinta kita ini.

Tagged as: ,

Arits Ilham

Orang sederhana, cenderung merasa kekurangan, tidak pernah puas dengan proses belajar yang telah dilakukanya. Baginya, tidak ada kata berhenti untuk sebuah pembelajaran, salah satu konsep hidupnya, belajar terus menerus meski berulang kali mengantarkannya pada kesalahan dan kekalahan. Tekadnya, berupaya memberikan senyum kesejukan pada orang lain.

Langganan

Jika ingin berlangganan tulisan di blog ini, silahkan pasang email Anda di kolom berikut

Bagikan ke

Tulisan Terkait

0 komentar:

Pengikut

Copyright © 2013 Pengintai Senja. WP Theme-junkie converted by BloggerTheme9
Blogger template. Proudly Powered by Blogger.
back to top